Jumat, 15 Maret 2013

Mesin Waktu dan Sebuah Pertanyaan, Ulasan sederhana novel Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru karya Yudhi Herwibowo, oleh Ary Yulistiana


Cukup berat untuk memulai membaca novel ini. Rasanya, mata mesti dipaksa supaya tetap nyalang untuk bertahan membacanya. Beberapa halaman awal terlewat,  mata hanya menyeret-nyeret kalimat hambar saja agaknya. Asing rasanya. Negeri mana? Kisah apa? Makin lengkap saja kesusahan itu dengan nama-nama tokoh yang tidak begitu akrab di telinga. Dua kesempatan pertama terlewat begitu saja. Hanya menuntaskan beberapa lembar dan berakhir dengan kantuk memberati mata. 

Namun pada kesempatan ketiga, situasi berubah. Baru menyadari bahwa sebelumnya saya hanya membaca dengan mata. Percayalah, hati, emosi, batin, perasaan, atau apapun itu yang berada dalam jiwa, perlu dilibatkan dalam membaca. Bila tidak, maka yang dilakukan sama saja dengan merangkai abjad semata, sekadar mengeja kata, tanpa makna. Sesudahnya, ketika mulai membaca dengan melibatkan rasa, saya tenggelam dalam kisah-kisah ajaibnya!

Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru. Buku ke-28 dari Yudhi Herwibowo. Baiklah, bermacam perdebatan kerap muncul soal posisi penulis setelah karyanya selesai dan dinikmati oleh pembaca. Entah bagaimana polemik itu berkelanjutan, yang jelas, buku ini adalah karya istimewa yang lahir dari produktivitas tinggi dan kedahsyatan imaji yang luar biasa dari proses kreatif penulisnya. 

Siapakah Kitta Kafadaru? Ia adalah seorang lelaki istimewa yang dilahirkan dengan punuk di punggungnya, lelaki yang terlahir bersamaan dengan hujan debu yang melanda Kofa. Sebuah desa kecil di utara Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Sesudah kelahiran lelaki berpunuk, Kitta Kafadaru, Kofa menjadi desa terindah di pulau tersebut. Hijau, kerap dihiasi rinai hujan dan diberkahi dengan empat mata air yang mengalir jernih di empat penjuru mata anginnya. 

Kitta Kafadaru, lelaki yang tak pernah memahami asal mula keistimewaannya. Kitta hanya merasa bahwa desakan untuk memberikan pertolongan selalu muncul dari dalam dirinya ketika berhadapan dengan orang yang menderita karena merasakan kesakitan. Dari telapak tangannya akan muncul cahaya samar berkilatan tatkala ia menolong orang-orang sakit tersebut. Dan pada salah satu kemunculan cahaya samar dari tangannya ketika menolong seorang gadis, muncul pula getaran aneh di hatinya, yang orang-orang di sekitarnya menyebut bahwa itu cinta. Namun sebab cintanya tak berbalas, Kitta memutuskan untuk meninggalkan desanya yang indah.
Sejak langkah kakinya yang pertama meninggalkan desa, hujan  debu kembali melanda Kofa. Mengubur mata air yang mengalir dari empat penjuru desa, memerintahkan kegersangan untuk kembali menguasai Kofa. Kitta Kafadaru terus melangkah ke barat tanpa menentukan tujuan pasti. Langkah-langkahnya ke barat itulah yang mempertemukannya dengan rangkaian kisah penuh keajaiban yang sedikit demi sedikit menggenapkan ruang kosong dalam jiwanya dan mendewasakan dirinya. 

Di permulaan, Kitta Kafadaru bertemu dengan Ame Tua, lelaki tua tanpa bayang-bayang yang mengantarkan pada awal keajaiban perjalanannya. Membawakan kisah-kisah ajaib, di antaranya tentang lelaki penabur pasir pemanggil hujan. Setelah berpisah dengan Ame Tua, Kitta menjumpai kisah lelaki dengan elang yang melayang di atas kepalanya, lantas dengan perempuan yang bersenandung aneh di hutan mati. Berikutnya, lelaki berpunuk itu tanpa sengaja  menemukan Bakar, yang konon dahulu terlahir sebagai bayi iblis. Pada perjalanan selanjutnya, Kitta terkisah dalam pertemuan dengan perempuan yang merindu air bah. Hingga akhirnya Kitta Kafadaru benar-benar berjumpa dengan lelaki penabur pasir pemanggil hujan yang pernah diceritakan Ame Tua pada awal perjalanannya. Perjumpaan yang menyadarkan dirinya untuk menyikapi takdir dengan lebih bijak. 

Miracle Journey, entah berapa kali saya terjebak dalam alurnya. Mengira bahwa saya sedang membaca buku dongeng, dan tiba-tiba tersadar bahwa ini kisah masa kini. Membacanya seperti masuk dalam mesin waktu dan terlempar antara masa kini dan masa lalu. Antara dongeng pengantar tidur dan sebuah novel yang penuh filosofi dan sarat makna. Tertegun dengan Ame Tua yang tubuhnya tidak memiliki bayang-bayang, tentang tangan Kitta Kafadaru yang mengeluarkan cahaya samar berkilatan, tentang Bakar yang terlahir dengan kulit merah dan bersuhu panas hingga disebut bayi iblis, tentang elang “sakti” milik Nyong Baburung yang bisa bangkit kembali setelah dikuburkan, ataupun soal pasir milik Matu Lesso yang bisa membuat hujan turun setelah ditaburkan ke langit. Benar-benar terkisah selayaknya dongeng.

 Namun di sela-selanya, pembaca disadarkan dengan penggambaran masa kini saat menjumpai mobil pick-up Chevrolet yang dipinjam oleh Todatius Kafadaru untuk mengantar istrinya ke puskesmas;  keberadaan pohon berdaun merah yang dikisahkan sebagai karya seorang seniman (dan bukan hasil sihir); tentang polisi yang mengusut “kasus” Nyong Baburung; kedatangan para peneliti dari Kupang di hutan mati; Ana Mambait yang menghubungi lembaga hukum untuk membantu soal Tiana Mutu; Radius Mepe’ yang mempunyai mesin tik; istilah backpacker dan traveler;  sampai soal wartawan yang mengusut peristiwa yang menimpa gadis cantik Isara. Kesemua bagian tersebut menunjukkan kekinian.

Pengisahan semacam ini, apabila tidak dilakukan berhati-hati dapat merusak alur cerita. Maka keping-keping logika harus disusun secermat mungkin demi sebuah kesatuan kisahan yang bisa dinikmati pembaca.   
Pada akhir perjalanannya, kisah Kitta Kafadaru diselesaikan dengan sempurna. Perasaan lega dan bahagia menyeruak  memenuhi ruang-ruang batin begitu selesai membacanya. Oh, tapi bahagia atau tidak, kembali lagi kepada orang yang membacanya. Bisa saja kisah ini dianggap berakhir sedih karena Kitta Kafadaru kemudian dikisahkan sudah tiada. Namun, masih ada Malika Kafadaru –anak angkat Kitta Kafadaru- yang merasakan bahagia ketika menapaki lagi jalan menuju ke Kofa, jadi tak ada salahnya kalau kita juga berbahagia untuknya.

Miracle Journey memiliki latar yang kaya. Pengisahan waktu, tempat dan suasana begitu terperinci dan membawa pembaca untuk masuk ke dalam cerita. Merasakan gelap terangnya hari, panas dinginnya cuaca, pahit dan nelangsanya episode kehidupan, misteri, keharuan, ketakjuban akan keajaiban, juga kegembiraan serta kebahagiaan.  Dalam novel ini dituturkan pula soal asal-usul Suku Manggarai serta perebutan kekuasaan antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa yang menambah khazanah pengetahuan pembaca. 

Kisah perjalanan Kitta Kafadaru mengingatkan kembali bahwa hidup menawarkan berbagai pilihan. Tak ada siapapun yang menentukan sedih dan bahagia selain diri sendiri. Mengingatkan bahwa selalu ada keajaiban dalam perjalanan hidup ini. Mengingatkan bahwa sebuah kebaikan akan berbalas pada kebaikan berikutnya entah dari siapa. Mengingatkan bahwa keajaiban dapat ditemui semua orang dalam kehidupannya.
Di sela kilau keajaiban kisah Kitta Kafadaru, ada beberapa hal yang mengganggu yakni masalah penggunaan bahasa Indonesia: penulisan kata berimbuhan, pilihan kata serta kesejajaran bentuk dan makna kalimat. Novel bukan sekadar reka cerita. Novel juga menjadi salah satu sarana dalam berkembangnya sebuah bahasa. Novel juga memiliki andil untuk memberikan pemahaman tentang kebahasaan kepada pembacanya dan diharapkan bisa menumbuhkan sikap positif , dalam hal ini, terhadap bahasa Indonesia. 

Editor atau penyunting adalah pihak yang bertanggungjawab untuk membantu penulis dalam menyajikan karyanya kepada khalayak. Ada kalanya penyunting menerima naskah yang sangat sempurna dan dapat segera meneruskannya ke proses produksi. Namun dapat juga penyunting perlu melakukan diskusi intensif dengan penulis untuk membuat naskah menjadi lebih baik. Penyunting selayaknya bekerja secara cermat dengan ketelitian tingkat tinggi dalam memeriksa sebuah naskah, baik secara substansial editing yakni menyunting substansi materi buku; maupun  mechanical editing yakni menyunting buku dari sisi kebahasaan semisal struktur kalimat, ejaan, diksi, dan sebagainya. 

Substansial editing dari novel ini dapat dibilang bagus atas hasil cerita yang tersaji. Namun, mechanical editing yang dilakukan atas novel ini dapat dibilang masih kurang digarap dengan serius sebab masih ditemukan berbagai kekeliruan. Padahal sebelum dicetak mestinya masih ada editor pembantu yang meneliti proof (naskah siap cetak) yang memastikan sebuah naskah bebas dari kesalahan. 

**

Novel ini hanya bisa dinikmati perlahan. Bebaskan terlebih dahulu segala belenggu pikiran, lalu turutlah berjalan di sisi Kitta Kafadaru, rasakan keajaiban-keajaiban yang dijumpainya. Dan ketika Kitta Kafadaru sudah tiada, maka kita sendirilah yang akan berhadapan dengan keajaiban-keajaiban itu!

Bacalah perlahan dengan segenap perasaan, maka engkau akan merasakan kilatan cahaya samar dari tangan Kitta Kafadaru  menyembuhkan luka hatimu. Bahwa segala yang kau cari telah kau temui, dan semua yang kau rindukan telah menjadi milikmu….

**



Arry Yulistiana, seorang guru. Penulis beberapa buku: 100th Dragonfly, Lentera Aisyah, Mauve, dll.  

Paper ini disajikan saat acara Malam 3 Penjuru, di Balai Soedjatmoko, 16 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar