Kofa pernah
menjadi sangat indah. Dulu, dulu sekali. Salah satu dusun kecil di utara
Larantuka, Nusa Tenggara Timur ini, pernah menjadi sangat berbeda. Ia tidak
gersang, seperti dusun-dusun lainnya. Hujan, tanpa tahu mengapa, kerap turun
disana. Membilas tanah Kofa dengan teratur, seperti sebuah rutinitas. Tak heran
bila Kofa begitu hijau. Tak hanya bougenville
yang tumbuh disana, hampir semua tanaman dapat mengakar. Seakan karang-karang
yang ada di setiap jengkal tanah. telah terkalahkan oleh geliat humus-humus
yang begitu tipis.
Tak hanya
sampai disitu, di 4 penjuru dusun, di 4 celah bukit karang dan di 4 jalan masuk
dusun, ada 4 mata air yang terus mengalir, atau lebih tepatnya menetes, setiap
detiknya di sepanjang tahun. Dari tetesan-tetesan inilah, yang semula hanya
membentuk genangan-genangan kecil, lama-kelamaan dapat membentuk danau-danau yang
kemudian biasa dijadikan tempat bermain anak-anak.
Benar-benar
berbeda dengan dusun lainnya! Orang-orang yang mampir, atau tak sengaja mampir,
kerap mengerutkan kening bila sudah berada di Kofa. Biasanya seiring dengan
tarikan napas panjang, untuk menghirup udara Kofa dalam-dalam, seakan stok
udara telah begitu tipisnya, mereka akan menanyakan keheranan mereka. Namun tak
pernah ada jawaban yang bisa menjawab dengan pasti. Mungkin, hanya jawaban dari
orang-orang tua, yang beberapanya masih tersisa, yang kerap menghubungkan keadaan
Kofa dengan kejadian lalu. Memang masih terasa begitu kaburnya. Tapi dari yang
kabur itu, setidaknya mereka memiliki bayangan, bila Kofa bisa seperti ini,
karena adanya hujan debu beberapa tahun yang lalu.
Hujan debu
yang saat itu dapat menggantikan tetes-tetes air hujan di kepala mereka…
*****
Dulu, dulu
sekali, mungkin hampir semua penduduk Kofa bertanya ada apa dengan Tuhan hari
itu? Mengapa saat ia menciptakan hujan, malah tetesan debu yang jatuh? Itupun
tak jatuh sepenuhnya, tapi terus berterbangan tak menentu, seakan ribuan
serangga yang berterbangan tanpa arah. Menabrak apapun yang dilaluinya, menenggelamkan
mata. Dusun-dusun lainnya, yang ada di sebelah Kofa, bahkan dapat melihat lebih
dari 10 meter dari permukaan tanah debu-debu itu bergulung-gulung, menutupi seluruh Kofa.
Mematikan Kofa hari itu!
Diantara debu
yang menggunung, Todatius Kafadaru sedang bersyukur di sebuah sudut. Tadi
sesaat hujan debu akan mulai, ia sibuk mengendarai chevrolet pinjamannya, membawa Ana, istrinya, ke puskesmas
terdekat. Saat itu ia begitu terburu-ruru, namun ia sempat melihat ke atas
kepalanya, melihat gumpalan hitam menyelimuti kota. Saat itu ia hanya berpikir
itu awan hitam yang akan meneteskan air, tanpa merasa aneh sedikit pun saat
debu mulai menerpa tipis-tipis wajahnya. Ia hanya menutup rapat-rapat kaca
mobilnya. Hanya sebatas itu. Pikirannya memang tak bisa berkembang saat itu. Ia
buntu. Ia kalut. Ia hanya memikirkan menancap gasnya sedalam mungkin, melarikan
istrinya!
Anaknya
pertamanya, yang sudah sekian lama ditunggunya, akan segera lahir…
*****
Masih di sisa
hari itu, di hari yang hampir selesai, saat debu-debu mulai mengendap, dan
pertanyaan ada apa dengan Tuhan hari itu, masih sedikit berbekas, sebuah tangis
bayi sepertinya membangunkan seluruh Kofa.
Ketika bidan
menyerahkan bayi 3 kilogram itu ketangannya, Todatius Kafadaru bergetar
menerimanya. Ia tak menangkap sinar mata aneh, sinar mata prihatin, yang nampak
di mata sang bidan. Mungkin karena itu tertutup oleh ucapan selamat dan senyum
manisnya.
Tapi
tangannya dapat merasakan sesuatu yang aneh. Dengan cepat ia mengangkat
bayinya, menyibak selimut yang menutupi tubuh mungil itu. Dan sinar mata
terkejut penuh, terpasang di kedua bola matanya, “Kenapa… begini?” suaranya
terdengar sangat bergetar.
Sang bidan
yang sebenarnya ingin cepat berlalu, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya
seorang bidan otodidak, yang diajari oleh seorang bidan otodidak senior. Jadi
ia tak diajari cara menghibur yang baik. Semuanya didapat dengan pengalaman,
dan ini adalah pengalaman pertamanya. Sehingga ia tak bisa berucap apa-apa.
Dan Todatius
Kafadaru hanya bisa menyentuh punggung bayinya, yang terlihat menonjol, seperti
sebuah punuk. Sang bidan bisa melihat kekecewaan di wajahnya. Tapi Todatius
mencoba tersenyum. Ia membelai-belai punggung itu, tetap mencoba bersyukur.
Ana, istrinya,
saat pertama kali menggendongnya, juga tidak merasakan apa-apa, karena selimut
tebal menyelimuti. Sebenarnya Todatius ingin langsung menceritakan apa yang ada
pada bayi mereka, tapi melihat mata istrinya begitu berbinar memandang bayi
dipelukannya, ia mengurungkan niatnya. Dari dulu ia tahu istrinya memang
menginginkan anak laki-laki. Apalagi keluarganya, sudah menyiapkan nama dari
jauh-jauh hari. Dua nama sekaligus, satu untuk laki-laki dan yang satu untuk
perempuan. Ini nama pemberian papanya, dengan sedikit embel-embel pesan, “Tapi
papa lebih suka bila ia laki-laki…”
Dan Todatius
tak bertanya-tanya lagi. Ia tahu alasannya. Disini anak laki-laki masih
dianggap sebagai penerus fam.
Baru ketika
pulang dari puskesmas, istrinya merasakan sesuatu. Segera ia menyingkap kain
yang membungkus tubuh bayinya.
“Dia…”
istrinya tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Todatius
segera memeluk, menghiburnya, “Sudahlah…”
*****
Orang-orang
tua akan selalu mengingat bila sejak hujan debu itu Kofa perlahan-lahan
berubah. Seperti sebuah putaran waktu yang bergeser, satu demi satu frame mulai
terlihat berubah. Dan hujan debu itu kemudian dihubung-hubungan. karena tak ada
yang bisa menjawab dengan pasti bagaimana bisa terjadi perubahan itu.
Awalnya mata
mereka kerap tak sengaja melihat pantulan sinar di ujung-ujung dedaunan tanaman
mereka. Dan begitu mereka mendekati untuk melihat, suasana sejuk langsung
menyentuh kulit mereka yang panas. Lalu giliran tanaman jagung, yang biasanya
mereka tanam di pekarangan rumah, terasa tumbuh lebih cepat. Bijinya pun jadi
lebih besar. Tak heran bila sejak itu, mulai sering ditemui perempuan-perempuan
Kofa terlihat di ambang pintu, tengah menumbuk biji-biji jagung itu untuk
dijadikan jagung titi.
Tidak hanya
jagung, tanaman-tanaman lain pun tumbuh lebih cepat. Beberapa pohon, yang
sebelumnya belum pernah mereka lihat, tumbuh begitu saja memenuhi Kofa. Lalu
muncullah mata air itu. Awalnya hanya berupa rembesan air di balik sebuah
karang. Menetes tanpa henti, hingga menciptakan genangan. Yang agak aneh, mata
air ini muncul di 4 sudut dusun! Tak heran bila anak-anak Kofa yang tak pernah
bermain-main dengan air sebelumnya, jadi memiliki kebiasaan baru.
Juga Kitta
Kafadaru.
*****
Melukiskan
Kitta Kafadaru seperti melukiskan sebuah alunan lagu yang begitu indah. Ia
adalah pemuda yang sangat istimewa. Sejak kecil orang-orang Kofa sudah
menganggapnya demikian. Mungkin selain dari fam
terpandang, ia memang sosok yang sopan.
Dulu memang
beberapa temannya, teman-teman yang paling badung, mengolok-oloknya dengan
sebutan Si Bongkok dari Gowa hantu.
Tapi itu tak lama, begitu semakin mengenal Kitta, dan dapat memandang mata
Kitta, mereka akan segan menyebut itu lagi. Entah apa yang ada dalam diri Kitta
Kafadaru. Orang-orang, sepertinya dapat melihat sorot mata yang dapat membuat
mereka begitu segan. Seperti sebuah belati yang dapat menerobos relung-relung
hati mereka, membuka setiap lembar sel untuk mengetahui rahasia mereka.
Tapi Kitta
Kafadaru selalu menganggap dirinya biasa saja, bahkan tak lebih beruntung dari
yang lainnya. Tapi orang-orang Kofa dapat melihat sesuatu yang lain dari
dirinya. Kadang dari tangan Kitta Kafadaru, mereka dapat melihat sedikit cahaya
yang berkelebat. Kata mereka, kali ini sedikit melebih-lebihkan, itu merupakan
titisan tangan Tuhan. Tentunya Kitta Kafadaru hanya akan tersenyum mendengar
itu. Tapi, tak dipungkiri, ia memang dapat menyembuhkan berbagai penyakit hanya
dengan menyentuhnya! Awalnya ketika ayahnya sakit dulu, ia yang merawatnya.
Setiap malam ia selalu memegangi tangan ayahnya itu, dan hanya berselang beberapa
hari kemudian, ayahnya sembuh. Semula semua orang menganggap itu hanyalah
kejadian biasa. Namun setelah beberapa kejadian serupa terjadi, mulailah
orang-orang berkerut kening. Dan bagai echo
di gunung-gunung, kerutan mereka mudah sekali bersautan…
Kitta
Kafadaru memang awalnya masih terus tersenyum bila orang-orang kerap memandang
takjub padanya. Ia tak tahu mengapa ia bisa melakukan itu. Beberapa kali ia
membantah sendiri kemampuannya itu. Ia berpikir itu hanya karena Tuhan mau
berbaik hati mengabulkan doanya. Tapi lama-kemalaan ia tak berkomentar apa-apa
selain diam.
Pada usia
kelimabelas tahun, ia mulai dapat melihat cahaya samar dari tangannya…
*****
Pernah di
suatu hari yang paling indah, saat bunga-bunga di puncak kemekaran mereka, dan
aroma ada di tepat ketinggian hidung orang-orang Kofa, Kitta Kafadaru
menyembuhkan seorang gadis dari luka bakar di pipinya. Wajah itu begitu
buruknya, hingga perempuan itu menutupnya dengan kain hitam, karena bila dengan
kain putih, luka itu tetap akan terlihat. Waktu itu Kitta Kafadaru hanya
menyentuh wajah gadis itu. Dan orang-orang yang menunggu di luar kemudian melihat cahaya berpendar-pendar dari ruangan
dimana Kitta bersama gadis itu. Sampai beberapa saat hanya cahaya itu yang
terlihat. Dan ketika Kitta Kafadaru mengangkat tangannya, ia pun jatuh cinta.
Seperti
sebuah panah yang belum pernah terasa, menembus tepat di jantungnya, Kitta
tiba-tiba tertegun menyentuh jantungnya. Beberapa temannya yang mendengarkan
keluhannya, menganalisa apa yang dirasakannya.
“Kau jatuh
cinta padanya, Kitta.”
Dan itulah
kemudian yang membawa Kitta melayang ke celah-celah waktu yang asing. Menabur
di setiap sela nafasnya, bahkan saat ia terlelap sekalipun. Maka di hari
lainnya, setelah penundaan tahap-tahap waktu lainnya, ia mendatangi gadis itu.
“Aku mencintaimu,”
ia mengucapkannya dengan gemetar.
Dan sang
gadis, yang kini berwajah begitu bersih, terdiam sesaat. Awalnya ia hanya ingin
mengirimkan bingkisan untuk ucapan terima kasih. Bingkisan yang sudah
dikirimnya beberapa kali, sebagai ucapan terimakasih yang tak terhingga. Ia
sama sekali tak menyangka, bila hari ini ia akan disambut seperti ini.
“Aku tak bisa
menerima cintamu,” akhirnya ucapan itu yang keluar dari bibirnya, begitu pelan,
namun seperti sebuah hentakan menyabut panah di dada Kitta Kafadaru.
“Mengapa?” ia
masih mencoba bertanya. Dan Sang gadis tak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun
dari pandangan wajahnya, Kitta Kafadaru tahu jawabannya.
Saat sang
gadis pulang, Kitta Kafadaru hanya bisa tergugu. Ia menutup pintu kamarnya,
menggerendelnya kuat-kuat.
Dikeremangan
kamar, Kitta Kafadaru mulai melepaskan bajunya. Lalu pelan-pelan mulai
disentuhnya punggungnya dengan telapak tangannya…
Lalu
orang-orang di luar hanya melihat cahaya yang terus muncul dari kamar itu.
Mereka awalnya menunggu, namun selang beberapa hari mereka tak bisa lagi
menunggu. Mendung tiba-tiba menyelimuti kepala mereka. Tapi bukan rintik-rintik
air yang kemudian terasa. Angin yang terus menerpa wajah mereka menyisakan
perih dimata. Dan saat mereka mencoba menyentuh wajah mereka, debu sudah begitu
terasa di wajah mereka…
*****
Dulu, dulu
sekali, Kofa pernah menjadi sangat indah. Tidak seperti sekarang. Ia kini tak
berbeda dengan dusun-dusun gersang yang ada di daerah Larantuka lainnya. Bahkan
mungkin, bagi orang-orang yang kerap datang ke dusun-dusun lainnya, akan
merasakan kalau angin di Kofa lebih terasa kencang dan berhawa debu.
Kofa memang pernah
menjadi begitu indah. Dan itu semua hilang dalam sehari, setelah hujan debu
datang…
*****
cerpen ini pernah dimuat di Buletin Sastra Pawon edisi 2
lalu dimuat kembali dalam kumcer saya, Mata Air Air Mata Kumari