Rabu, 10 Oktober 2012

Kofa, cerpen yang mengawali kisah Miracle Journey



Kofa pernah menjadi sangat indah. Dulu, dulu sekali. Salah satu dusun kecil di utara Larantuka, Nusa Tenggara Timur ini, pernah menjadi sangat berbeda. Ia tidak gersang, seperti dusun-dusun lainnya. Hujan, tanpa tahu mengapa, kerap turun disana. Membilas tanah Kofa dengan teratur, seperti sebuah rutinitas. Tak heran bila Kofa begitu hijau. Tak hanya bougenville yang tumbuh disana, hampir semua tanaman dapat mengakar. Seakan karang-karang yang ada di setiap jengkal tanah. telah terkalahkan oleh geliat humus-humus yang begitu tipis.
Tak hanya sampai disitu, di 4 penjuru dusun, di 4 celah bukit karang dan di 4 jalan masuk dusun, ada 4 mata air yang terus mengalir, atau lebih tepatnya menetes, setiap detiknya di sepanjang tahun. Dari tetesan-tetesan inilah, yang semula hanya membentuk genangan-genangan kecil, lama-kelamaan dapat membentuk danau-danau yang kemudian biasa dijadikan tempat bermain anak-anak.
Benar-benar berbeda dengan dusun lainnya! Orang-orang yang mampir, atau tak sengaja mampir, kerap mengerutkan kening bila sudah berada di Kofa. Biasanya seiring dengan tarikan napas panjang, untuk menghirup udara Kofa dalam-dalam, seakan stok udara telah begitu tipisnya, mereka akan menanyakan keheranan mereka. Namun tak pernah ada jawaban yang bisa menjawab dengan pasti. Mungkin, hanya jawaban dari orang-orang tua, yang beberapanya masih tersisa, yang kerap menghubungkan keadaan Kofa dengan kejadian lalu. Memang masih terasa begitu kaburnya. Tapi dari yang kabur itu, setidaknya mereka memiliki bayangan, bila Kofa bisa seperti ini, karena adanya hujan debu beberapa tahun yang lalu.
Hujan debu yang saat itu dapat menggantikan tetes-tetes air hujan di kepala mereka…

*****

Dulu, dulu sekali, mungkin hampir semua penduduk Kofa bertanya ada apa dengan Tuhan hari itu? Mengapa saat ia menciptakan hujan, malah tetesan debu yang jatuh? Itupun tak jatuh sepenuhnya, tapi terus berterbangan tak menentu, seakan ribuan serangga yang berterbangan tanpa arah. Menabrak apapun yang dilaluinya, menenggelamkan mata. Dusun-dusun lainnya, yang ada di sebelah Kofa, bahkan dapat melihat lebih dari 10 meter dari permukaan tanah debu-debu itu  bergulung-gulung, menutupi seluruh Kofa. Mematikan Kofa hari itu!
Diantara debu yang menggunung, Todatius Kafadaru sedang bersyukur di sebuah sudut. Tadi sesaat hujan debu akan mulai, ia sibuk mengendarai chevrolet pinjamannya, membawa Ana, istrinya, ke puskesmas terdekat. Saat itu ia begitu terburu-ruru, namun ia sempat melihat ke atas kepalanya, melihat gumpalan hitam menyelimuti kota. Saat itu ia hanya berpikir itu awan hitam yang akan meneteskan air, tanpa merasa aneh sedikit pun saat debu mulai menerpa tipis-tipis wajahnya. Ia hanya menutup rapat-rapat kaca mobilnya. Hanya sebatas itu. Pikirannya memang tak bisa berkembang saat itu. Ia buntu. Ia kalut. Ia hanya memikirkan menancap gasnya sedalam mungkin, melarikan istrinya!
Anaknya pertamanya, yang sudah sekian lama ditunggunya, akan segera lahir…

*****

Masih di sisa hari itu, di hari yang hampir selesai, saat debu-debu mulai mengendap, dan pertanyaan ada apa dengan Tuhan hari itu, masih sedikit berbekas, sebuah tangis bayi sepertinya membangunkan seluruh Kofa.
Ketika bidan menyerahkan bayi 3 kilogram itu ketangannya, Todatius Kafadaru bergetar menerimanya. Ia tak menangkap sinar mata aneh, sinar mata prihatin, yang nampak di mata sang bidan. Mungkin karena itu tertutup oleh ucapan selamat dan senyum manisnya.
Tapi tangannya dapat merasakan sesuatu yang aneh. Dengan cepat ia mengangkat bayinya, menyibak selimut yang menutupi tubuh mungil itu. Dan sinar mata terkejut penuh, terpasang di kedua bola matanya, “Kenapa… begini?” suaranya terdengar sangat bergetar.
Sang bidan yang sebenarnya ingin cepat berlalu, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya seorang bidan otodidak, yang diajari oleh seorang bidan otodidak senior. Jadi ia tak diajari cara menghibur yang baik. Semuanya didapat dengan pengalaman, dan ini adalah pengalaman pertamanya. Sehingga ia tak bisa berucap apa-apa.
Dan Todatius Kafadaru hanya bisa menyentuh punggung bayinya, yang terlihat menonjol, seperti sebuah punuk. Sang bidan bisa melihat kekecewaan di wajahnya. Tapi Todatius mencoba tersenyum. Ia membelai-belai punggung itu, tetap mencoba bersyukur.
Ana, istrinya, saat pertama kali menggendongnya, juga tidak merasakan apa-apa, karena selimut tebal menyelimuti. Sebenarnya Todatius ingin langsung menceritakan apa yang ada pada bayi mereka, tapi melihat mata istrinya begitu berbinar memandang bayi dipelukannya, ia mengurungkan niatnya. Dari dulu ia tahu istrinya memang menginginkan anak laki-laki. Apalagi keluarganya, sudah menyiapkan nama dari jauh-jauh hari. Dua nama sekaligus, satu untuk laki-laki dan yang satu untuk perempuan. Ini nama pemberian papanya, dengan sedikit embel-embel pesan, “Tapi papa lebih suka bila ia laki-laki…”
Dan Todatius tak bertanya-tanya lagi. Ia tahu alasannya. Disini anak laki-laki masih dianggap sebagai penerus fam.
Baru ketika pulang dari puskesmas, istrinya merasakan sesuatu. Segera ia menyingkap kain yang membungkus tubuh bayinya.
“Dia…” istrinya tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Todatius segera memeluk, menghiburnya, “Sudahlah…”

*****

Orang-orang tua akan selalu mengingat bila sejak hujan debu itu Kofa perlahan-lahan berubah. Seperti sebuah putaran waktu yang bergeser, satu demi satu frame mulai terlihat berubah. Dan hujan debu itu kemudian dihubung-hubungan. karena tak ada yang bisa menjawab dengan pasti bagaimana bisa terjadi perubahan itu.
Awalnya mata mereka kerap tak sengaja melihat pantulan sinar di ujung-ujung dedaunan tanaman mereka. Dan begitu mereka mendekati untuk melihat, suasana sejuk langsung menyentuh kulit mereka yang panas. Lalu giliran tanaman jagung, yang biasanya mereka tanam di pekarangan rumah, terasa tumbuh lebih cepat. Bijinya pun jadi lebih besar. Tak heran bila sejak itu, mulai sering ditemui perempuan-perempuan Kofa terlihat di ambang pintu, tengah menumbuk biji-biji jagung itu untuk dijadikan jagung titi.
Tidak hanya jagung, tanaman-tanaman lain pun tumbuh lebih cepat. Beberapa pohon, yang sebelumnya belum pernah mereka lihat, tumbuh begitu saja memenuhi Kofa. Lalu muncullah mata air itu. Awalnya hanya berupa rembesan air di balik sebuah karang. Menetes tanpa henti, hingga menciptakan genangan. Yang agak aneh, mata air ini muncul di 4 sudut dusun! Tak heran bila anak-anak Kofa yang tak pernah bermain-main dengan air sebelumnya, jadi memiliki kebiasaan baru.
Juga Kitta Kafadaru.

*****

Melukiskan Kitta Kafadaru seperti melukiskan sebuah alunan lagu yang begitu indah. Ia adalah pemuda yang sangat istimewa. Sejak kecil orang-orang Kofa sudah menganggapnya demikian. Mungkin selain dari fam terpandang, ia memang sosok yang sopan.
Dulu memang beberapa temannya, teman-teman yang paling badung, mengolok-oloknya dengan sebutan Si Bongkok dari Gowa hantu. Tapi itu tak lama, begitu semakin mengenal Kitta, dan dapat memandang mata Kitta, mereka akan segan menyebut itu lagi. Entah apa yang ada dalam diri Kitta Kafadaru. Orang-orang, sepertinya dapat melihat sorot mata yang dapat membuat mereka begitu segan. Seperti sebuah belati yang dapat menerobos relung-relung hati mereka, membuka setiap lembar sel untuk mengetahui rahasia mereka.
Tapi Kitta Kafadaru selalu menganggap dirinya biasa saja, bahkan tak lebih beruntung dari yang lainnya. Tapi orang-orang Kofa dapat melihat sesuatu yang lain dari dirinya. Kadang dari tangan Kitta Kafadaru, mereka dapat melihat sedikit cahaya yang berkelebat. Kata mereka, kali ini sedikit melebih-lebihkan, itu merupakan titisan tangan Tuhan. Tentunya Kitta Kafadaru hanya akan tersenyum mendengar itu. Tapi, tak dipungkiri, ia memang dapat menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan menyentuhnya! Awalnya ketika ayahnya sakit dulu, ia yang merawatnya. Setiap malam ia selalu memegangi tangan ayahnya itu, dan hanya berselang beberapa hari kemudian, ayahnya sembuh. Semula semua orang menganggap itu hanyalah kejadian biasa. Namun setelah beberapa kejadian serupa terjadi, mulailah orang-orang berkerut kening. Dan bagai echo di gunung-gunung, kerutan mereka mudah sekali bersautan…
Kitta Kafadaru memang awalnya masih terus tersenyum bila orang-orang kerap memandang takjub padanya. Ia tak tahu mengapa ia bisa melakukan itu. Beberapa kali ia membantah sendiri kemampuannya itu. Ia berpikir itu hanya karena Tuhan mau berbaik hati mengabulkan doanya. Tapi lama-kemalaan ia tak berkomentar apa-apa selain diam.
Pada usia kelimabelas tahun, ia mulai dapat melihat cahaya samar dari tangannya…

*****

Pernah di suatu hari yang paling indah, saat bunga-bunga di puncak kemekaran mereka, dan aroma ada di tepat ketinggian hidung orang-orang Kofa, Kitta Kafadaru menyembuhkan seorang gadis dari luka bakar di pipinya. Wajah itu begitu buruknya, hingga perempuan itu menutupnya dengan kain hitam, karena bila dengan kain putih, luka itu tetap akan terlihat. Waktu itu Kitta Kafadaru hanya menyentuh wajah gadis itu. Dan orang-orang yang menunggu di luar kemudian  melihat cahaya berpendar-pendar dari ruangan dimana Kitta bersama gadis itu. Sampai beberapa saat hanya cahaya itu yang terlihat. Dan ketika Kitta Kafadaru mengangkat tangannya, ia pun jatuh cinta.
Seperti sebuah panah yang belum pernah terasa, menembus tepat di jantungnya, Kitta tiba-tiba tertegun menyentuh jantungnya. Beberapa temannya yang mendengarkan keluhannya, menganalisa apa yang dirasakannya.
“Kau jatuh cinta padanya, Kitta.”
Dan itulah kemudian yang membawa Kitta melayang ke celah-celah waktu yang asing. Menabur di setiap sela nafasnya, bahkan saat ia terlelap sekalipun. Maka di hari lainnya, setelah penundaan tahap-tahap waktu lainnya, ia mendatangi gadis itu.
“Aku mencintaimu,” ia mengucapkannya dengan gemetar.
Dan sang gadis, yang kini berwajah begitu bersih, terdiam sesaat. Awalnya ia hanya ingin mengirimkan bingkisan untuk ucapan terima kasih. Bingkisan yang sudah dikirimnya beberapa kali, sebagai ucapan terimakasih yang tak terhingga. Ia sama sekali tak menyangka, bila hari ini ia akan disambut seperti ini.
“Aku tak bisa menerima cintamu,” akhirnya ucapan itu yang keluar dari bibirnya, begitu pelan, namun seperti sebuah hentakan menyabut panah di dada Kitta Kafadaru.
“Mengapa?” ia masih mencoba bertanya. Dan Sang gadis tak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun dari pandangan wajahnya, Kitta Kafadaru tahu jawabannya.
Saat sang gadis pulang, Kitta Kafadaru hanya bisa tergugu. Ia menutup pintu kamarnya, menggerendelnya kuat-kuat.
Dikeremangan kamar, Kitta Kafadaru mulai melepaskan bajunya. Lalu pelan-pelan mulai disentuhnya punggungnya dengan telapak tangannya…
Lalu orang-orang di luar hanya melihat cahaya yang terus muncul dari kamar itu. Mereka awalnya menunggu, namun selang beberapa hari mereka tak bisa lagi menunggu. Mendung tiba-tiba menyelimuti kepala mereka. Tapi bukan rintik-rintik air yang kemudian terasa. Angin yang terus menerpa wajah mereka menyisakan perih dimata. Dan saat mereka mencoba menyentuh wajah mereka, debu sudah begitu terasa di wajah mereka…

*****

Dulu, dulu sekali, Kofa pernah menjadi sangat indah. Tidak seperti sekarang. Ia kini tak berbeda dengan dusun-dusun gersang yang ada di daerah Larantuka lainnya. Bahkan mungkin, bagi orang-orang yang kerap datang ke dusun-dusun lainnya, akan merasakan kalau angin di Kofa lebih terasa kencang dan berhawa debu.
Kofa memang pernah menjadi begitu indah. Dan itu semua hilang dalam sehari, setelah hujan debu datang…

*****

cerpen ini pernah dimuat di Buletin Sastra Pawon edisi 2 
lalu dimuat kembali dalam kumcer saya, Mata Air Air Mata Kumari