Dongeng
penuh keajaiban dalam novel ini menemaniku disela-sela jeda mengajar di
beberapa lembaga pendidikan (LKP Perhotelan dan Kapal Pesiar Adam
Mulia, SOLOCOM dan Talent Language Club - Solo) dimana aku bekerja dan
menikmati perjalanan mudik dari Solo ke Kebumen dengan kereta Prameks.
Aku
menyelesaikan pembacaan saat hujan sedang mengguyur di muka bumi dan
menambah suasana mistis saja di sore hari saat baru pulang dari memanen
padi di sawah. Karena nuansa kekeringan panjang yang sebagian terdapat
dalam cerita membuatku bertanya dalam hati, bahwa hujan bisa langsung
terasa diraba oleh inderaku saat ini juga. Sementara kemarau, hutan mati
dan beberapa setting cerita membuat imajinasiku melayang jauh ke
Flores, Nusa Tenggara Timur.
Aku belum pernah ke sana.
Adalah
Kitta Kafadaru, lelaki dengan punuk di punggungnya yang memiliki tangan
dengan cahaya-cahaya ditangannya yang bisa menyembuhkan segala penyakit
mengembara, menyusuri desa, hutan dan laut. Ia ingin menjadi manusia
biasa, lelaki yang normal. Tetapi takdir berkata lain. Kadang manusia
dilahirkan dengan segenggam kelebihan dan segenggam kekurangan.
Orang-orang disekitar Kitta Kafadaru mencibir dan akhirnya ia pergi
meninggalkan Kofa, tempat kelahirannya yang sangat dicintainya.
Perjalanannya
dipenuhi kejadian menakjubkan. Ia bertemu orang-orang yang menderita,
tetapi dibalik itu menyimpan keganjilan, ketidakberdayaan dan kepasrahan
hidup.
Ketika
membaca bagian awal novel ini, aku merasa ada yang ganjil. Keganjilan
itu berasal dari tokoh utama yang entah mengapa di lidahku begitu
bernada pengucapannya. Tidak bisa dibaca dengan datar. Seperti
bersenandung: Kitta Kafadaru. Apakah karena dia lahir dengan punuk
dipunggungnya dan cahaya-cahaya ditangannya dan mengalami peristiwa
hujan debu yang mengiri kelahirannya? Ah itu mungkin halusinasi yang membawaku ke alam dongeng.
Pikiranku
mengembara, merasakan hujan debu, kekeringan, menatap oasis dan
bunga-bunga beterbangan di angkas pada awal pengembaraan Kitta Kafadaru.
Kemudian ketika Ame Tua bercerita tentang mata air Tura-tura, pikiranku
langsung sejuk seperti ketika aku di bawah air terjun di Kedung Kayang
Boyolali atau di Tawangmangu: Grojogan Sewu. Mengalir deras dan dingin
mengguyur tubuhku.
Aku
begitu terharu ketika sampai pada cerita yang persis sama dengan yang
pernah kualami. Aku pernah menyatakan cinta pada seorang gadis, dan
ditolak (hal 35). Oh. Walaupun berbeda kisahnya, karena Kitta Kafadaru
mencintai sosok gadis yang terkena luka bakar di pipi gadis yang
dipujanya karena kecantikannya. Berarti sama sepertiku seorang yang kuat
dengan puja rupa.
Setiap
berhenti di sebuah tempat, Kitta Kafadaru bertemu dengan orang yang
ajaib dan memiliki kelebihan. Tetapi kengerian yang mengenaskan karena
kelebihan yang dimiliki orang-orang yang ditemui tokoh utama ini selalu
sial dan hina. Seperti perempuan yang bisu, tidak bisa berkata apa-apa
dan harus dibakar hidup-hidup. Kemudian yang paling mengerikan dan
seolah-olah lelaki yang terlahir sebagai iblis itu menatapku dengan
sangat tajam dan membuatku terkapar.
Ada juga sosok perempuan yang diperkosa dan melahirkan bayi yang tidak dikehendakinya dan ingin dirawat oleh Kitta Kafadaru.
Ujung
kisah dalam novel dewasa ini diberi pamungkas dengan dongeng yang
membuatku teringat di masa kering kerontang dan membutuhkan setetes
hujan. Dengan menaburkan pasir, maka butiran pasir berbuih menjadi hujan
yang melegakan dahaga dan menghidupkan alam raya.
Bagiku,
Kitta Kafadaru adalah seorang dukun alami dari sononya. Bukan dukun
tiban seperti Ponari. Kitta Kafadaru selalu berusaha menyembuhkan
penyakit-penyakit atau kelainan yang diderita orang yang ditemuinya.
Walau ia harus terkulai lemah tak berdaya usai menyembuhkan orang yang
menderita itu. Tetapi ia selalu optimis untuk terus kembali ke desanya,
Kofa, yang sangat dicintainya.
Banyak
petuah arif yang membuatku terpana dan merenung: antara lain adalah
ketika Ame Tua berujar “Tak ada masalah yang terlalu berat, atau yang
terlalu ringan. Kalau terlalu berat, tentu kita tak akan bisa
menghadapinya, dan bila terlalu ringan, kita takut akan cenderung
meremehkannya” (hal 37). Tetapi dari petuah dari novel ini yang
membuatku senantiasa bersyukur adalah makna kelahiranku di dunia ini
bahwa semua manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan dan tentu
saja memiliki tujan dari Sang Pencipta, dan “kadang seorang diciptakan
untuk menjadi orang tidak biasa”.
Tinjauan Sosiolinguistik
Miracle
Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru, mengangkat
kekayaan nusantara wilayah Flores, Nusa Tenggar Timur. Aku menemukan
banyak istilah yang memperkaya kosa kata. Bahasa lokal sebagai identitas
budaya setempat seperti Ame Tua, bebak, jagung titi, kitorang, Tutu Koda (lagu daerah) dan juga alih kode dan campur kode (code switching and code mixing).
Misalnya “Beta son tahu, ... (hal 76), yang bermakna “saya tidak tahu”.
Penulis, Yudhi Herwibowo, menunjukkan campur kode yang merujuk pada
bahasa lokal setempat dimana tokoh-tokoh itu berada sehingga pembaca
langsung terbayang nuansa di tempat tersebut dan sekaligus merasakan
pelakunya berasal dari daerah itu.
Bahasa yang digunakan di dalam masyarakat (Sosiolinguistik) dalam novel ini menurutku mengangkat kekayaan Nusantara.
Teknik Penulisan
Yudhi
Herwibowo mengangkat 6 cerpen dalam penulisan novel ini. Dengan teknik
memasukan tokoh utama, Kitta Kafadaru, yang melakukan perjalanan
menyusuri ke 6 cerpen yang semuanya memuat kisah mistis. Kitta Kafadaru
selesai bertemu masing-masing tokoh yang berbeda karakter dengan segala
kekurangan dan kelebihannya di masing-masing bab. Walaupun proporsi
seimbang di masing-masing bab, bagiku, kadang kisahnya terasa panjang,
kadang pendek nuansanya.
Teknik
berkisah yang dilakukan penulis menjadi daya tarik tersendiri. Tokoh
utama bertemu dengan tokoh 1, 2, 3 dan seterusnya disesuiakan dengan
rasa penasaran dari cerita yang didengarnya untuk memburu tokoh
selanjutnya dalam perjalanan yang ditempuhnya. Ini membuat pembaca
semakin tertarik untuk terus membaca semua kisah yang membuat penasaran
dan tidak berhenti membacanya sampai habis. Penuturan yang lembut, penuh
dengan metafora membuat pembaca betah.
Novel
ini akan lebih seru dan ajaib, jika Kitta Kafadaru atau tokoh-tokoh
yang ditemuinya saling bertemu dan terlibat dalam konflik. Sehingga
kompleksitasnya semakin berwarna tanpa mengaburkan kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki para tokoh yang ditemui tokoh utama yang
berentetan dan diceritakan satu per satu.
Sembuhnya tokoh-tokoh yang menderita karena berhasil diobati oleh dukun Kitta Kafadaru membuat pembaca lega.
*
Kartasura, 14-3-2013
http://media.kompasiana.com/buku/2013/03/15/2/542342/dongeng-dukun-kitta-kafadaru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar