Jumat, 15 Maret 2013

Dongeng Dukun Kitta Kafadaru, review Ngadiyo di Kompasiana

Dongeng penuh keajaiban dalam novel ini menemaniku disela-sela jeda mengajar di beberapa lembaga pendidikan (LKP Perhotelan dan Kapal Pesiar Adam Mulia, SOLOCOM dan Talent Language Club - Solo) dimana aku bekerja dan menikmati perjalanan mudik dari Solo ke Kebumen dengan kereta Prameks.
Aku menyelesaikan pembacaan saat hujan sedang mengguyur di muka bumi dan menambah suasana mistis saja di sore hari saat baru pulang dari memanen padi di sawah. Karena nuansa kekeringan panjang yang sebagian terdapat dalam cerita membuatku bertanya dalam hati, bahwa hujan bisa langsung terasa diraba oleh inderaku saat ini juga. Sementara kemarau, hutan mati dan beberapa setting cerita membuat imajinasiku melayang jauh ke Flores, Nusa Tenggara Timur.
Aku belum pernah ke sana.
Adalah Kitta Kafadaru, lelaki dengan punuk di punggungnya yang memiliki tangan dengan cahaya-cahaya ditangannya yang bisa menyembuhkan segala penyakit mengembara, menyusuri desa, hutan dan laut. Ia ingin menjadi manusia biasa, lelaki yang normal. Tetapi takdir berkata lain. Kadang manusia dilahirkan dengan segenggam kelebihan dan segenggam kekurangan. Orang-orang disekitar Kitta Kafadaru mencibir dan akhirnya ia pergi meninggalkan Kofa, tempat kelahirannya yang sangat dicintainya.
Perjalanannya dipenuhi kejadian menakjubkan. Ia bertemu orang-orang yang menderita, tetapi dibalik itu menyimpan keganjilan, ketidakberdayaan dan kepasrahan hidup.
Ketika membaca bagian awal novel ini, aku merasa ada yang ganjil. Keganjilan itu berasal dari tokoh utama yang entah mengapa di lidahku begitu bernada pengucapannya. Tidak bisa dibaca dengan datar. Seperti bersenandung: Kitta Kafadaru. Apakah karena dia lahir dengan punuk dipunggungnya dan cahaya-cahaya ditangannya dan mengalami peristiwa hujan debu yang mengiri kelahirannya? Ah itu mungkin halusinasi yang membawaku ke alam dongeng.
Pikiranku mengembara, merasakan hujan debu, kekeringan, menatap oasis dan bunga-bunga beterbangan di angkas pada awal pengembaraan Kitta Kafadaru. Kemudian ketika Ame Tua bercerita tentang mata air Tura-tura, pikiranku langsung sejuk seperti ketika aku di bawah air terjun di Kedung Kayang Boyolali atau di Tawangmangu: Grojogan Sewu. Mengalir deras dan dingin mengguyur tubuhku.
Aku begitu terharu ketika sampai pada cerita yang persis sama dengan yang pernah kualami. Aku pernah menyatakan cinta pada seorang gadis, dan ditolak (hal 35). Oh. Walaupun berbeda kisahnya, karena Kitta Kafadaru mencintai sosok gadis yang terkena luka bakar di pipi gadis yang dipujanya karena kecantikannya. Berarti sama sepertiku seorang yang kuat dengan puja rupa.
Setiap berhenti di sebuah tempat, Kitta Kafadaru bertemu dengan orang yang ajaib dan memiliki kelebihan. Tetapi kengerian yang mengenaskan karena kelebihan yang dimiliki orang-orang yang ditemui tokoh utama ini selalu sial dan hina. Seperti perempuan yang bisu, tidak bisa berkata apa-apa dan harus dibakar hidup-hidup. Kemudian yang paling mengerikan dan seolah-olah lelaki yang terlahir sebagai iblis itu menatapku dengan sangat tajam dan membuatku terkapar.
Ada juga sosok perempuan yang diperkosa dan melahirkan bayi yang tidak dikehendakinya dan ingin dirawat oleh Kitta Kafadaru.
Ujung kisah dalam novel dewasa ini diberi pamungkas dengan dongeng yang membuatku teringat di masa kering kerontang dan membutuhkan setetes hujan. Dengan menaburkan pasir, maka butiran pasir berbuih menjadi hujan yang melegakan dahaga dan menghidupkan alam raya.
Bagiku, Kitta Kafadaru adalah seorang dukun alami dari sononya. Bukan dukun tiban seperti Ponari. Kitta Kafadaru selalu berusaha menyembuhkan penyakit-penyakit atau kelainan yang diderita orang yang ditemuinya. Walau ia harus terkulai lemah tak berdaya usai menyembuhkan orang yang menderita itu. Tetapi ia selalu optimis untuk terus kembali ke desanya, Kofa, yang sangat dicintainya.
Banyak petuah arif yang membuatku terpana dan merenung: antara lain adalah ketika Ame Tua berujar “Tak ada masalah yang terlalu berat, atau yang terlalu ringan. Kalau terlalu berat, tentu kita tak akan bisa menghadapinya, dan bila terlalu ringan, kita takut akan cenderung meremehkannya” (hal 37). Tetapi dari petuah dari novel ini yang membuatku senantiasa bersyukur adalah makna kelahiranku di dunia ini bahwa semua manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan dan tentu saja memiliki tujan dari Sang Pencipta, dan “kadang seorang diciptakan untuk menjadi orang tidak biasa”. 

Tinjauan Sosiolinguistik
Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru, mengangkat kekayaan nusantara wilayah Flores, Nusa Tenggar Timur. Aku menemukan banyak istilah yang memperkaya kosa kata. Bahasa lokal sebagai identitas budaya setempat seperti Ame Tua, bebak, jagung titi, kitorang, Tutu Koda (lagu daerah) dan juga alih kode dan campur kode (code switching and code mixing). Misalnya “Beta son tahu, ... (hal 76), yang bermakna “saya tidak tahu”. Penulis, Yudhi Herwibowo, menunjukkan campur kode yang merujuk pada bahasa lokal setempat dimana tokoh-tokoh itu berada sehingga pembaca langsung terbayang nuansa di tempat tersebut dan sekaligus merasakan pelakunya berasal dari daerah itu.
Bahasa yang digunakan di dalam masyarakat (Sosiolinguistik) dalam novel ini menurutku mengangkat kekayaan Nusantara. 

Teknik Penulisan
Yudhi Herwibowo mengangkat 6 cerpen dalam penulisan novel ini. Dengan teknik memasukan tokoh utama, Kitta Kafadaru, yang melakukan perjalanan menyusuri ke 6 cerpen yang semuanya memuat kisah mistis. Kitta Kafadaru selesai bertemu masing-masing tokoh yang berbeda karakter dengan segala kekurangan dan kelebihannya di masing-masing bab. Walaupun proporsi seimbang di masing-masing bab, bagiku, kadang kisahnya terasa panjang, kadang pendek nuansanya.
Teknik berkisah yang dilakukan penulis menjadi daya tarik tersendiri. Tokoh utama bertemu dengan tokoh 1, 2, 3 dan seterusnya disesuiakan dengan rasa penasaran dari cerita yang didengarnya untuk memburu tokoh selanjutnya dalam perjalanan yang ditempuhnya. Ini membuat pembaca semakin tertarik untuk terus membaca semua kisah yang membuat penasaran dan tidak berhenti membacanya sampai habis. Penuturan yang lembut, penuh dengan metafora membuat pembaca betah.
Novel ini akan lebih seru dan ajaib, jika Kitta Kafadaru atau tokoh-tokoh yang ditemuinya saling bertemu dan terlibat dalam konflik. Sehingga kompleksitasnya semakin berwarna tanpa mengaburkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki para tokoh yang ditemui tokoh utama yang berentetan dan diceritakan satu per satu.
Sembuhnya tokoh-tokoh yang menderita karena berhasil diobati oleh dukun Kitta Kafadaru membuat pembaca lega.
*
Kartasura, 14-3-2013 



http://media.kompasiana.com/buku/2013/03/15/2/542342/dongeng-dukun-kitta-kafadaru.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar