Rabu, 02 Januari 2013

Bagaimana Membuat Novel dari 6 Cerpen?



Novel Miracle Journey ini merupakan novel yang direkat dari 6 cerpen saya:

  •  Kofa
  •  Lelaki dengan Elang yang Melayang di Atas Kepalanya,
  • Perempuan yang Bersenandung Aneh di Hutan Mati,
  • Anak Iblis,
  • Perempuan yang Merindu Air Bah, dan
  • Sang Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan

Cerpen Kofa sudah dimuat dalam Buletin Sastra Pawon, termuat juga dalam kumcer saya Mata Air Air Mata Kumari (BukuKatta), serta menjadi 1 bagian kisah di novel saya Perjalanan Menuju Cahaya (Sheilla). Cerpen Anak Iblis pernah dipublikasikan di Suara Merdeka. Cerpen Perempuan yang Merindu Air Bah dimuat di Jurnal Nasional dan Sang Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan dimuat di Koran Tempo. Cerpen Lelaki dengan Elang yang Melayang di Atas Kepalanya merupakan revisi berulang-ulang dari cerpen Elang yang dulu pernah dimuat di Majalah Hai, dan masuk dalam kumcer pertama saya Lagu Senja (Balai Pustaka). Hanya satu cerpen, Perempuan yang Bersenandung Aneh di Hutan Mati, yang sengaja saya simpan dan tak saya kirim kemana-mana. Karena ini merupakan cerpen paling kuat di antara semuanya!
                                                                                                                    
Konsep buku ini sama persis seperti Perjalanan Menuju Cahaya. Sebuah kisah yang dipenuhi bingkai-bingkai kisah lainnya. Tokoh utama, melakukan perjalanan panjang dan mendapati kisah-kisah ajaib di setiap jeda perjalanannya. Tentu ada hal yang melatari perjalanan itu. Satu hal yang menjadi benang merah dari semua kisah. 

Awalnya tentu saja saya tak membuat secara khusus cerpen-cerpen itu untuk novel ini. Cerpen-cerpen itu saya buat seperti biasa. Namun saat mulai berpikir membuat sebuah novel perjalanan, saya mulai memilih-milih cerpen-cerpen mana yang sekiranya pantas masuk? Syarat cerpen itu tentu saja harus sesuai dengan temanya: mengandung satu unsur keajaiban. 

Maka terpilihlah 5 cerpen di antaranya. Cerpen-cerpen ini saya ibaratkan bagai ranting-ranting kecil di antara
sebuah ranting besar. Setiap ranting kecil tak terikat dengan ranting kecil lainnya. Tapi tentu ranting besar itu mengikat semuanya. Di situlah sang tokoh utama melakukan perjalanan, untuk kemudian menyinggahi satu demi satu kisah. Ia bisa menempatkan diri hadir di tengah-tengah kisah, atau hadir setelah kisah.
 
Dalam proses pembuatannya, secara tak sengaja saya harus mengeksplorasi satu tokoh yang muncul belakangan. Tanpa saya sadari saya membuat satu kisah Sang Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan. Saya pikir kisah itu dapat berdiri sendiri. Maka saya kirimkan cerpen itu ke Tempo.

Seperti itulah... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar