Cukup berat untuk memulai membaca novel ini. Rasanya, mata mesti dipaksa
supaya tetap nyalang untuk bertahan membacanya. Beberapa halaman awal terlewat,
mata hanya menyeret-nyeret kalimat
hambar saja agaknya. Asing rasanya. Negeri mana? Kisah apa? Makin lengkap saja
kesusahan itu dengan nama-nama tokoh yang tidak begitu akrab di telinga. Dua
kesempatan pertama terlewat begitu saja. Hanya menuntaskan beberapa lembar dan
berakhir dengan kantuk memberati mata.
Namun pada kesempatan ketiga, situasi berubah. Baru
menyadari bahwa sebelumnya saya hanya membaca dengan mata. Percayalah, hati, emosi,
batin, perasaan, atau apapun itu yang berada dalam jiwa, perlu dilibatkan dalam
membaca. Bila tidak, maka yang dilakukan sama saja dengan merangkai abjad semata,
sekadar mengeja kata, tanpa makna. Sesudahnya, ketika mulai membaca dengan
melibatkan rasa, saya tenggelam dalam kisah-kisah ajaibnya!
Miracle
Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru. Buku ke-28 dari Yudhi
Herwibowo. Baiklah, bermacam perdebatan kerap muncul soal posisi penulis
setelah karyanya selesai dan dinikmati oleh pembaca. Entah bagaimana polemik
itu berkelanjutan, yang jelas, buku ini adalah karya istimewa yang lahir dari
produktivitas tinggi dan kedahsyatan imaji yang luar biasa dari proses kreatif penulisnya.
Siapakah Kitta
Kafadaru? Ia adalah seorang lelaki istimewa yang dilahirkan dengan punuk di
punggungnya, lelaki yang terlahir bersamaan dengan hujan debu yang melanda
Kofa. Sebuah desa kecil di utara Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Sesudah
kelahiran lelaki berpunuk, Kitta Kafadaru, Kofa menjadi desa terindah di pulau
tersebut. Hijau, kerap dihiasi rinai hujan dan diberkahi dengan empat mata air
yang mengalir jernih di empat penjuru mata anginnya.
Kitta Kafadaru, lelaki yang tak pernah memahami asal
mula keistimewaannya. Kitta hanya merasa bahwa desakan untuk memberikan
pertolongan selalu muncul dari dalam dirinya ketika berhadapan dengan orang
yang menderita karena merasakan kesakitan. Dari telapak tangannya akan muncul cahaya
samar berkilatan tatkala ia menolong orang-orang sakit tersebut. Dan pada salah
satu kemunculan cahaya samar dari tangannya ketika menolong seorang gadis,
muncul pula getaran aneh di hatinya, yang orang-orang di sekitarnya menyebut
bahwa itu cinta. Namun sebab cintanya tak berbalas, Kitta memutuskan untuk meninggalkan
desanya yang indah.
Sejak langkah kakinya yang pertama meninggalkan desa,
hujan debu kembali melanda Kofa.
Mengubur mata air yang mengalir dari empat penjuru desa, memerintahkan
kegersangan untuk kembali menguasai Kofa. Kitta Kafadaru terus melangkah ke
barat tanpa menentukan tujuan pasti. Langkah-langkahnya ke barat itulah yang
mempertemukannya dengan rangkaian kisah penuh keajaiban yang sedikit demi
sedikit menggenapkan ruang kosong dalam jiwanya dan mendewasakan dirinya.
Di permulaan, Kitta Kafadaru bertemu dengan Ame Tua, lelaki
tua tanpa bayang-bayang yang mengantarkan pada awal keajaiban perjalanannya.
Membawakan kisah-kisah ajaib, di antaranya tentang lelaki penabur pasir
pemanggil hujan. Setelah berpisah dengan Ame Tua, Kitta menjumpai kisah lelaki
dengan elang yang melayang di atas kepalanya, lantas dengan perempuan yang bersenandung
aneh di hutan mati. Berikutnya, lelaki berpunuk itu tanpa sengaja menemukan Bakar, yang konon dahulu terlahir
sebagai bayi iblis. Pada perjalanan selanjutnya, Kitta terkisah dalam pertemuan
dengan perempuan yang merindu air bah. Hingga akhirnya Kitta Kafadaru benar-benar
berjumpa dengan lelaki penabur pasir pemanggil hujan yang pernah diceritakan
Ame Tua pada awal perjalanannya. Perjumpaan yang menyadarkan dirinya untuk
menyikapi takdir dengan lebih bijak.
Miracle
Journey, entah berapa kali saya
terjebak dalam alurnya. Mengira bahwa saya sedang membaca buku dongeng, dan
tiba-tiba tersadar bahwa ini kisah masa kini. Membacanya seperti masuk dalam
mesin waktu dan terlempar antara masa kini dan masa lalu. Antara dongeng
pengantar tidur dan sebuah novel yang penuh filosofi dan sarat makna. Tertegun
dengan Ame Tua yang tubuhnya tidak memiliki bayang-bayang, tentang tangan Kitta
Kafadaru yang mengeluarkan cahaya samar berkilatan, tentang Bakar yang terlahir
dengan kulit merah dan bersuhu panas hingga disebut bayi iblis, tentang elang “sakti”
milik Nyong Baburung yang bisa bangkit kembali setelah dikuburkan, ataupun soal
pasir milik Matu Lesso yang bisa membuat hujan turun setelah ditaburkan ke langit.
Benar-benar terkisah selayaknya dongeng.
Namun di
sela-selanya, pembaca disadarkan dengan penggambaran masa kini saat menjumpai
mobil pick-up Chevrolet yang dipinjam
oleh Todatius Kafadaru untuk mengantar istrinya ke puskesmas; keberadaan pohon berdaun merah yang dikisahkan
sebagai karya seorang seniman (dan bukan hasil sihir); tentang polisi yang
mengusut “kasus” Nyong Baburung; kedatangan para peneliti dari Kupang di hutan
mati; Ana Mambait yang menghubungi lembaga hukum untuk membantu soal Tiana Mutu;
Radius Mepe’ yang mempunyai mesin tik; istilah backpacker dan traveler; sampai soal wartawan yang mengusut peristiwa
yang menimpa gadis cantik Isara. Kesemua bagian tersebut menunjukkan kekinian.
Pengisahan semacam ini, apabila tidak dilakukan
berhati-hati dapat merusak alur cerita. Maka keping-keping logika harus disusun
secermat mungkin demi sebuah kesatuan kisahan yang bisa dinikmati pembaca.
Pada akhir perjalanannya, kisah Kitta Kafadaru
diselesaikan dengan sempurna. Perasaan lega dan bahagia menyeruak memenuhi ruang-ruang batin begitu selesai
membacanya. Oh, tapi bahagia atau tidak, kembali lagi kepada orang yang
membacanya. Bisa saja kisah ini dianggap berakhir sedih karena Kitta Kafadaru
kemudian dikisahkan sudah tiada. Namun, masih ada Malika Kafadaru –anak angkat
Kitta Kafadaru- yang merasakan bahagia ketika menapaki lagi jalan menuju ke
Kofa, jadi tak ada salahnya kalau kita juga berbahagia untuknya.
Miracle
Journey memiliki latar yang kaya. Pengisahan
waktu, tempat dan suasana begitu terperinci dan membawa pembaca untuk masuk ke
dalam cerita. Merasakan gelap terangnya hari, panas dinginnya cuaca, pahit dan
nelangsanya episode kehidupan, misteri, keharuan, ketakjuban akan keajaiban, juga
kegembiraan serta kebahagiaan. Dalam
novel ini dituturkan pula soal asal-usul Suku Manggarai serta perebutan
kekuasaan antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa yang menambah khazanah
pengetahuan pembaca.
Kisah perjalanan Kitta Kafadaru mengingatkan kembali
bahwa hidup menawarkan berbagai pilihan. Tak ada siapapun yang menentukan sedih
dan bahagia selain diri sendiri. Mengingatkan bahwa selalu ada keajaiban dalam
perjalanan hidup ini. Mengingatkan bahwa sebuah kebaikan akan berbalas pada
kebaikan berikutnya entah dari siapa. Mengingatkan bahwa keajaiban dapat
ditemui semua orang dalam kehidupannya.
Di sela kilau keajaiban kisah Kitta Kafadaru, ada beberapa
hal yang mengganggu yakni masalah penggunaan bahasa Indonesia: penulisan kata
berimbuhan, pilihan kata serta kesejajaran bentuk dan makna kalimat. Novel bukan
sekadar reka cerita. Novel juga menjadi salah satu sarana dalam berkembangnya
sebuah bahasa. Novel juga memiliki andil untuk memberikan pemahaman tentang
kebahasaan kepada pembacanya dan diharapkan bisa menumbuhkan sikap positif ,
dalam hal ini, terhadap bahasa Indonesia.
Editor atau penyunting adalah pihak yang
bertanggungjawab untuk membantu penulis dalam menyajikan karyanya kepada
khalayak. Ada kalanya penyunting menerima naskah yang sangat sempurna dan dapat
segera meneruskannya ke proses produksi. Namun dapat juga penyunting perlu
melakukan diskusi intensif dengan penulis untuk membuat naskah menjadi lebih
baik. Penyunting selayaknya bekerja secara cermat dengan ketelitian tingkat
tinggi dalam memeriksa sebuah naskah, baik secara substansial editing yakni menyunting substansi materi buku;
maupun mechanical editing yakni menyunting buku dari sisi kebahasaan
semisal struktur kalimat, ejaan, diksi, dan sebagainya.
Substansial
editing dari novel ini dapat dibilang
bagus atas hasil cerita yang tersaji. Namun, mechanical editing yang dilakukan atas novel ini dapat dibilang
masih kurang digarap dengan serius sebab masih ditemukan berbagai kekeliruan.
Padahal sebelum dicetak mestinya masih ada editor pembantu yang meneliti proof (naskah siap cetak) yang memastikan
sebuah naskah bebas dari kesalahan.
**
Novel ini hanya bisa dinikmati perlahan. Bebaskan
terlebih dahulu segala belenggu pikiran, lalu turutlah berjalan di sisi Kitta
Kafadaru, rasakan keajaiban-keajaiban yang dijumpainya. Dan ketika Kitta Kafadaru
sudah tiada, maka kita sendirilah yang akan berhadapan dengan keajaiban-keajaiban
itu!
Bacalah perlahan dengan segenap perasaan, maka engkau
akan merasakan kilatan cahaya samar dari tangan Kitta Kafadaru menyembuhkan luka hatimu. Bahwa segala yang
kau cari telah kau temui, dan semua yang kau rindukan telah menjadi milikmu….
**
Arry Yulistiana,
seorang guru. Penulis beberapa buku: 100th Dragonfly, Lentera Aisyah, Mauve, dll.
Paper ini disajikan saat acara Malam 3 Penjuru, di Balai Soedjatmoko, 16 Maret 2013.
Paper ini disajikan saat acara Malam 3 Penjuru, di Balai Soedjatmoko, 16 Maret 2013.