Jumat, 15 Maret 2013

Mesin Waktu dan Sebuah Pertanyaan, Ulasan sederhana novel Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru karya Yudhi Herwibowo, oleh Ary Yulistiana


Cukup berat untuk memulai membaca novel ini. Rasanya, mata mesti dipaksa supaya tetap nyalang untuk bertahan membacanya. Beberapa halaman awal terlewat,  mata hanya menyeret-nyeret kalimat hambar saja agaknya. Asing rasanya. Negeri mana? Kisah apa? Makin lengkap saja kesusahan itu dengan nama-nama tokoh yang tidak begitu akrab di telinga. Dua kesempatan pertama terlewat begitu saja. Hanya menuntaskan beberapa lembar dan berakhir dengan kantuk memberati mata. 

Namun pada kesempatan ketiga, situasi berubah. Baru menyadari bahwa sebelumnya saya hanya membaca dengan mata. Percayalah, hati, emosi, batin, perasaan, atau apapun itu yang berada dalam jiwa, perlu dilibatkan dalam membaca. Bila tidak, maka yang dilakukan sama saja dengan merangkai abjad semata, sekadar mengeja kata, tanpa makna. Sesudahnya, ketika mulai membaca dengan melibatkan rasa, saya tenggelam dalam kisah-kisah ajaibnya!

Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru. Buku ke-28 dari Yudhi Herwibowo. Baiklah, bermacam perdebatan kerap muncul soal posisi penulis setelah karyanya selesai dan dinikmati oleh pembaca. Entah bagaimana polemik itu berkelanjutan, yang jelas, buku ini adalah karya istimewa yang lahir dari produktivitas tinggi dan kedahsyatan imaji yang luar biasa dari proses kreatif penulisnya. 

Siapakah Kitta Kafadaru? Ia adalah seorang lelaki istimewa yang dilahirkan dengan punuk di punggungnya, lelaki yang terlahir bersamaan dengan hujan debu yang melanda Kofa. Sebuah desa kecil di utara Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Sesudah kelahiran lelaki berpunuk, Kitta Kafadaru, Kofa menjadi desa terindah di pulau tersebut. Hijau, kerap dihiasi rinai hujan dan diberkahi dengan empat mata air yang mengalir jernih di empat penjuru mata anginnya. 

Kitta Kafadaru, lelaki yang tak pernah memahami asal mula keistimewaannya. Kitta hanya merasa bahwa desakan untuk memberikan pertolongan selalu muncul dari dalam dirinya ketika berhadapan dengan orang yang menderita karena merasakan kesakitan. Dari telapak tangannya akan muncul cahaya samar berkilatan tatkala ia menolong orang-orang sakit tersebut. Dan pada salah satu kemunculan cahaya samar dari tangannya ketika menolong seorang gadis, muncul pula getaran aneh di hatinya, yang orang-orang di sekitarnya menyebut bahwa itu cinta. Namun sebab cintanya tak berbalas, Kitta memutuskan untuk meninggalkan desanya yang indah.
Sejak langkah kakinya yang pertama meninggalkan desa, hujan  debu kembali melanda Kofa. Mengubur mata air yang mengalir dari empat penjuru desa, memerintahkan kegersangan untuk kembali menguasai Kofa. Kitta Kafadaru terus melangkah ke barat tanpa menentukan tujuan pasti. Langkah-langkahnya ke barat itulah yang mempertemukannya dengan rangkaian kisah penuh keajaiban yang sedikit demi sedikit menggenapkan ruang kosong dalam jiwanya dan mendewasakan dirinya. 

Di permulaan, Kitta Kafadaru bertemu dengan Ame Tua, lelaki tua tanpa bayang-bayang yang mengantarkan pada awal keajaiban perjalanannya. Membawakan kisah-kisah ajaib, di antaranya tentang lelaki penabur pasir pemanggil hujan. Setelah berpisah dengan Ame Tua, Kitta menjumpai kisah lelaki dengan elang yang melayang di atas kepalanya, lantas dengan perempuan yang bersenandung aneh di hutan mati. Berikutnya, lelaki berpunuk itu tanpa sengaja  menemukan Bakar, yang konon dahulu terlahir sebagai bayi iblis. Pada perjalanan selanjutnya, Kitta terkisah dalam pertemuan dengan perempuan yang merindu air bah. Hingga akhirnya Kitta Kafadaru benar-benar berjumpa dengan lelaki penabur pasir pemanggil hujan yang pernah diceritakan Ame Tua pada awal perjalanannya. Perjumpaan yang menyadarkan dirinya untuk menyikapi takdir dengan lebih bijak. 

Miracle Journey, entah berapa kali saya terjebak dalam alurnya. Mengira bahwa saya sedang membaca buku dongeng, dan tiba-tiba tersadar bahwa ini kisah masa kini. Membacanya seperti masuk dalam mesin waktu dan terlempar antara masa kini dan masa lalu. Antara dongeng pengantar tidur dan sebuah novel yang penuh filosofi dan sarat makna. Tertegun dengan Ame Tua yang tubuhnya tidak memiliki bayang-bayang, tentang tangan Kitta Kafadaru yang mengeluarkan cahaya samar berkilatan, tentang Bakar yang terlahir dengan kulit merah dan bersuhu panas hingga disebut bayi iblis, tentang elang “sakti” milik Nyong Baburung yang bisa bangkit kembali setelah dikuburkan, ataupun soal pasir milik Matu Lesso yang bisa membuat hujan turun setelah ditaburkan ke langit. Benar-benar terkisah selayaknya dongeng.

 Namun di sela-selanya, pembaca disadarkan dengan penggambaran masa kini saat menjumpai mobil pick-up Chevrolet yang dipinjam oleh Todatius Kafadaru untuk mengantar istrinya ke puskesmas;  keberadaan pohon berdaun merah yang dikisahkan sebagai karya seorang seniman (dan bukan hasil sihir); tentang polisi yang mengusut “kasus” Nyong Baburung; kedatangan para peneliti dari Kupang di hutan mati; Ana Mambait yang menghubungi lembaga hukum untuk membantu soal Tiana Mutu; Radius Mepe’ yang mempunyai mesin tik; istilah backpacker dan traveler;  sampai soal wartawan yang mengusut peristiwa yang menimpa gadis cantik Isara. Kesemua bagian tersebut menunjukkan kekinian.

Pengisahan semacam ini, apabila tidak dilakukan berhati-hati dapat merusak alur cerita. Maka keping-keping logika harus disusun secermat mungkin demi sebuah kesatuan kisahan yang bisa dinikmati pembaca.   
Pada akhir perjalanannya, kisah Kitta Kafadaru diselesaikan dengan sempurna. Perasaan lega dan bahagia menyeruak  memenuhi ruang-ruang batin begitu selesai membacanya. Oh, tapi bahagia atau tidak, kembali lagi kepada orang yang membacanya. Bisa saja kisah ini dianggap berakhir sedih karena Kitta Kafadaru kemudian dikisahkan sudah tiada. Namun, masih ada Malika Kafadaru –anak angkat Kitta Kafadaru- yang merasakan bahagia ketika menapaki lagi jalan menuju ke Kofa, jadi tak ada salahnya kalau kita juga berbahagia untuknya.

Miracle Journey memiliki latar yang kaya. Pengisahan waktu, tempat dan suasana begitu terperinci dan membawa pembaca untuk masuk ke dalam cerita. Merasakan gelap terangnya hari, panas dinginnya cuaca, pahit dan nelangsanya episode kehidupan, misteri, keharuan, ketakjuban akan keajaiban, juga kegembiraan serta kebahagiaan.  Dalam novel ini dituturkan pula soal asal-usul Suku Manggarai serta perebutan kekuasaan antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa yang menambah khazanah pengetahuan pembaca. 

Kisah perjalanan Kitta Kafadaru mengingatkan kembali bahwa hidup menawarkan berbagai pilihan. Tak ada siapapun yang menentukan sedih dan bahagia selain diri sendiri. Mengingatkan bahwa selalu ada keajaiban dalam perjalanan hidup ini. Mengingatkan bahwa sebuah kebaikan akan berbalas pada kebaikan berikutnya entah dari siapa. Mengingatkan bahwa keajaiban dapat ditemui semua orang dalam kehidupannya.
Di sela kilau keajaiban kisah Kitta Kafadaru, ada beberapa hal yang mengganggu yakni masalah penggunaan bahasa Indonesia: penulisan kata berimbuhan, pilihan kata serta kesejajaran bentuk dan makna kalimat. Novel bukan sekadar reka cerita. Novel juga menjadi salah satu sarana dalam berkembangnya sebuah bahasa. Novel juga memiliki andil untuk memberikan pemahaman tentang kebahasaan kepada pembacanya dan diharapkan bisa menumbuhkan sikap positif , dalam hal ini, terhadap bahasa Indonesia. 

Editor atau penyunting adalah pihak yang bertanggungjawab untuk membantu penulis dalam menyajikan karyanya kepada khalayak. Ada kalanya penyunting menerima naskah yang sangat sempurna dan dapat segera meneruskannya ke proses produksi. Namun dapat juga penyunting perlu melakukan diskusi intensif dengan penulis untuk membuat naskah menjadi lebih baik. Penyunting selayaknya bekerja secara cermat dengan ketelitian tingkat tinggi dalam memeriksa sebuah naskah, baik secara substansial editing yakni menyunting substansi materi buku; maupun  mechanical editing yakni menyunting buku dari sisi kebahasaan semisal struktur kalimat, ejaan, diksi, dan sebagainya. 

Substansial editing dari novel ini dapat dibilang bagus atas hasil cerita yang tersaji. Namun, mechanical editing yang dilakukan atas novel ini dapat dibilang masih kurang digarap dengan serius sebab masih ditemukan berbagai kekeliruan. Padahal sebelum dicetak mestinya masih ada editor pembantu yang meneliti proof (naskah siap cetak) yang memastikan sebuah naskah bebas dari kesalahan. 

**

Novel ini hanya bisa dinikmati perlahan. Bebaskan terlebih dahulu segala belenggu pikiran, lalu turutlah berjalan di sisi Kitta Kafadaru, rasakan keajaiban-keajaiban yang dijumpainya. Dan ketika Kitta Kafadaru sudah tiada, maka kita sendirilah yang akan berhadapan dengan keajaiban-keajaiban itu!

Bacalah perlahan dengan segenap perasaan, maka engkau akan merasakan kilatan cahaya samar dari tangan Kitta Kafadaru  menyembuhkan luka hatimu. Bahwa segala yang kau cari telah kau temui, dan semua yang kau rindukan telah menjadi milikmu….

**



Arry Yulistiana, seorang guru. Penulis beberapa buku: 100th Dragonfly, Lentera Aisyah, Mauve, dll.  

Paper ini disajikan saat acara Malam 3 Penjuru, di Balai Soedjatmoko, 16 Maret 2013.

Dongeng Dukun Kitta Kafadaru, review Ngadiyo di Kompasiana

Dongeng penuh keajaiban dalam novel ini menemaniku disela-sela jeda mengajar di beberapa lembaga pendidikan (LKP Perhotelan dan Kapal Pesiar Adam Mulia, SOLOCOM dan Talent Language Club - Solo) dimana aku bekerja dan menikmati perjalanan mudik dari Solo ke Kebumen dengan kereta Prameks.
Aku menyelesaikan pembacaan saat hujan sedang mengguyur di muka bumi dan menambah suasana mistis saja di sore hari saat baru pulang dari memanen padi di sawah. Karena nuansa kekeringan panjang yang sebagian terdapat dalam cerita membuatku bertanya dalam hati, bahwa hujan bisa langsung terasa diraba oleh inderaku saat ini juga. Sementara kemarau, hutan mati dan beberapa setting cerita membuat imajinasiku melayang jauh ke Flores, Nusa Tenggara Timur.
Aku belum pernah ke sana.
Adalah Kitta Kafadaru, lelaki dengan punuk di punggungnya yang memiliki tangan dengan cahaya-cahaya ditangannya yang bisa menyembuhkan segala penyakit mengembara, menyusuri desa, hutan dan laut. Ia ingin menjadi manusia biasa, lelaki yang normal. Tetapi takdir berkata lain. Kadang manusia dilahirkan dengan segenggam kelebihan dan segenggam kekurangan. Orang-orang disekitar Kitta Kafadaru mencibir dan akhirnya ia pergi meninggalkan Kofa, tempat kelahirannya yang sangat dicintainya.
Perjalanannya dipenuhi kejadian menakjubkan. Ia bertemu orang-orang yang menderita, tetapi dibalik itu menyimpan keganjilan, ketidakberdayaan dan kepasrahan hidup.
Ketika membaca bagian awal novel ini, aku merasa ada yang ganjil. Keganjilan itu berasal dari tokoh utama yang entah mengapa di lidahku begitu bernada pengucapannya. Tidak bisa dibaca dengan datar. Seperti bersenandung: Kitta Kafadaru. Apakah karena dia lahir dengan punuk dipunggungnya dan cahaya-cahaya ditangannya dan mengalami peristiwa hujan debu yang mengiri kelahirannya? Ah itu mungkin halusinasi yang membawaku ke alam dongeng.
Pikiranku mengembara, merasakan hujan debu, kekeringan, menatap oasis dan bunga-bunga beterbangan di angkas pada awal pengembaraan Kitta Kafadaru. Kemudian ketika Ame Tua bercerita tentang mata air Tura-tura, pikiranku langsung sejuk seperti ketika aku di bawah air terjun di Kedung Kayang Boyolali atau di Tawangmangu: Grojogan Sewu. Mengalir deras dan dingin mengguyur tubuhku.
Aku begitu terharu ketika sampai pada cerita yang persis sama dengan yang pernah kualami. Aku pernah menyatakan cinta pada seorang gadis, dan ditolak (hal 35). Oh. Walaupun berbeda kisahnya, karena Kitta Kafadaru mencintai sosok gadis yang terkena luka bakar di pipi gadis yang dipujanya karena kecantikannya. Berarti sama sepertiku seorang yang kuat dengan puja rupa.
Setiap berhenti di sebuah tempat, Kitta Kafadaru bertemu dengan orang yang ajaib dan memiliki kelebihan. Tetapi kengerian yang mengenaskan karena kelebihan yang dimiliki orang-orang yang ditemui tokoh utama ini selalu sial dan hina. Seperti perempuan yang bisu, tidak bisa berkata apa-apa dan harus dibakar hidup-hidup. Kemudian yang paling mengerikan dan seolah-olah lelaki yang terlahir sebagai iblis itu menatapku dengan sangat tajam dan membuatku terkapar.
Ada juga sosok perempuan yang diperkosa dan melahirkan bayi yang tidak dikehendakinya dan ingin dirawat oleh Kitta Kafadaru.
Ujung kisah dalam novel dewasa ini diberi pamungkas dengan dongeng yang membuatku teringat di masa kering kerontang dan membutuhkan setetes hujan. Dengan menaburkan pasir, maka butiran pasir berbuih menjadi hujan yang melegakan dahaga dan menghidupkan alam raya.
Bagiku, Kitta Kafadaru adalah seorang dukun alami dari sononya. Bukan dukun tiban seperti Ponari. Kitta Kafadaru selalu berusaha menyembuhkan penyakit-penyakit atau kelainan yang diderita orang yang ditemuinya. Walau ia harus terkulai lemah tak berdaya usai menyembuhkan orang yang menderita itu. Tetapi ia selalu optimis untuk terus kembali ke desanya, Kofa, yang sangat dicintainya.
Banyak petuah arif yang membuatku terpana dan merenung: antara lain adalah ketika Ame Tua berujar “Tak ada masalah yang terlalu berat, atau yang terlalu ringan. Kalau terlalu berat, tentu kita tak akan bisa menghadapinya, dan bila terlalu ringan, kita takut akan cenderung meremehkannya” (hal 37). Tetapi dari petuah dari novel ini yang membuatku senantiasa bersyukur adalah makna kelahiranku di dunia ini bahwa semua manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan dan tentu saja memiliki tujan dari Sang Pencipta, dan “kadang seorang diciptakan untuk menjadi orang tidak biasa”. 

Tinjauan Sosiolinguistik
Miracle Journey: Kisah Perjalanan Penuh Keajaiban Kitta Kafadaru, mengangkat kekayaan nusantara wilayah Flores, Nusa Tenggar Timur. Aku menemukan banyak istilah yang memperkaya kosa kata. Bahasa lokal sebagai identitas budaya setempat seperti Ame Tua, bebak, jagung titi, kitorang, Tutu Koda (lagu daerah) dan juga alih kode dan campur kode (code switching and code mixing). Misalnya “Beta son tahu, ... (hal 76), yang bermakna “saya tidak tahu”. Penulis, Yudhi Herwibowo, menunjukkan campur kode yang merujuk pada bahasa lokal setempat dimana tokoh-tokoh itu berada sehingga pembaca langsung terbayang nuansa di tempat tersebut dan sekaligus merasakan pelakunya berasal dari daerah itu.
Bahasa yang digunakan di dalam masyarakat (Sosiolinguistik) dalam novel ini menurutku mengangkat kekayaan Nusantara. 

Teknik Penulisan
Yudhi Herwibowo mengangkat 6 cerpen dalam penulisan novel ini. Dengan teknik memasukan tokoh utama, Kitta Kafadaru, yang melakukan perjalanan menyusuri ke 6 cerpen yang semuanya memuat kisah mistis. Kitta Kafadaru selesai bertemu masing-masing tokoh yang berbeda karakter dengan segala kekurangan dan kelebihannya di masing-masing bab. Walaupun proporsi seimbang di masing-masing bab, bagiku, kadang kisahnya terasa panjang, kadang pendek nuansanya.
Teknik berkisah yang dilakukan penulis menjadi daya tarik tersendiri. Tokoh utama bertemu dengan tokoh 1, 2, 3 dan seterusnya disesuiakan dengan rasa penasaran dari cerita yang didengarnya untuk memburu tokoh selanjutnya dalam perjalanan yang ditempuhnya. Ini membuat pembaca semakin tertarik untuk terus membaca semua kisah yang membuat penasaran dan tidak berhenti membacanya sampai habis. Penuturan yang lembut, penuh dengan metafora membuat pembaca betah.
Novel ini akan lebih seru dan ajaib, jika Kitta Kafadaru atau tokoh-tokoh yang ditemuinya saling bertemu dan terlibat dalam konflik. Sehingga kompleksitasnya semakin berwarna tanpa mengaburkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki para tokoh yang ditemui tokoh utama yang berentetan dan diceritakan satu per satu.
Sembuhnya tokoh-tokoh yang menderita karena berhasil diobati oleh dukun Kitta Kafadaru membuat pembaca lega.
*
Kartasura, 14-3-2013 



http://media.kompasiana.com/buku/2013/03/15/2/542342/dongeng-dukun-kitta-kafadaru.html

Miracle Journey, review Luckty Giyan Sukarno


Semua yang diciptakan selalu ada tujuannya. Tapi tentu saja terkadang engkau boleh memilih. Kalau engkau tak ingin dengan kelebihan yang diberikan padamu, engkau bisa mengabaikannya bukan?” (hlm. 45)

Kofa pernah menjadi sangat indah. Dulu, dulu sekali. Salah satu desa kecil di utara Larantuka, Nusa Tenggara Timur ini, pernah menjadi sangat berbeda. Tidak gersang seperti desa-desa lainnya. Hujan, entah mengapa, kerap turun di sana. Membilas tanah dengan teratur sehingga sseperti menjadi sebuah kebiasaan. Tak heran bila Kofa begitu hijau. Tak hanya bunga bugenvil yang tumbuh di sana, hampir semua tanaman dapat mengakar. Seakan karang-karang yang ada di setiap jengkal tanahnya telah terkalahkan oleh geliat humus-humus yang begitu tipis.

Tak hanya sampai di situ, di empat penjuru desa, di empat celah bukit karang dan empat jalan masuk desa, ada empat mata air yang terus mengalir, atau lebih tepatnya menetes sepanjang tahun. Tetesan-tetesan ini, yang semula hanya berupa genangan kecil, lama kelamaan membentuk danau-danau, yang kemudian biasa dijadikan tempat bermain anak-anak.

Orang-orang yang mampir, atau tak sengaja mampir, kerap mengerutkan kening bila sudah berada di Kofa. Biasanya seiring dengan tarikan napas panjang saat menghirup udara Kofa dalam-dalam –seakan stok udara begitu tipisnya- mereka akan menanyakan keherahanan itu. Tapi, tak pernah ada yang bisa menjawab dengan pasti. Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih hidup yang mampu menjawabnya. Mereka kerap menghubungkan keadaan Kofa dengan keadaan yang terjadi di masa lalu. Memang masih tetap terasa begitu kabut. Tapi dari kejadian yang kabur itu setidaknya mereka masih punya bayangan bagaimana Kofa bisa menjadi seperti sekarang. Ini dikarenakan adanya hujan debu yang melanda daerah ini beberapa tahun lalu. Hujan debu yang saat itu menggantikan tetes-tetes air hujan di kepala mereka…

Orang-orang tua akan selalu mengingat bahwa sejak hujan debu ini, Kofa perlahan-lahan berubah. Seperti putaran waktu yang bergeser, satu demi satu pigura mulai terlihat berubah. Lalu segala sesuatunya dihubung-hubungkan dengan hujan debu itu, karena mereka tidak bisa menjawab dengan pasti bagaimana perubahan itu bisa terjadi.

Awalnya mata mereka kerap tak sengaja melihat pantulan sinar di ujung-ujung dedaunan tanaman mereka. Begitu mereka mendekat untuk melihat, suasana sejuk langsung menyentuh kulit mereka yang panas. Lalu tanaman jagung, yang biasanya mereka tanam di pekarangan rumah terlihat tumbuh lebih cepat. Bijinya pun menjadi lebih besar. Tak heran sejak itu mulai sering ditemui para perempuan Kofa tengah menumbuk biji-biji jagung untuk dijadikan jagung titi di ambang pintu rumah.

Tidak hanya jagung, tanaman-tanaman lain pun tumbuh lebih cepat. Beberapa pohon yang belum pernah mereka lihat, tumbuh begitu saja memenuhi Kofa. Lalu mata air itu pun muncul.

Awalnya hanya berupa rembesan air di balik karang. Lalu air menetes tanpa henti dan menciptakan sebuah genangan. Ini agak aneh karena mata air tersebut muncul di empat sudut desa! Tak heran anak-anak Kofa yang tak pernah bermain-main dengan air sebelumnya kini memiliki kebiasaan baru. Mereka menjadi senang bermain air.

Demikian halnya dengan bocah kecil yang lahir pada awal hujan debu itu. Bocah dengan punuk di punggungnya, Kitta Kafadaru.

Aku ingin menjadi burung-burung yang bisa terbang bebas menuju langit tak bertepi, dan bersembunyi di balik awan… (hlm. 6)

Kitta Kafadaru adalah sosok istimewa yang terlahir dengan cahaya-cahaya di tangannya. Konon ia bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang diderita oleh orang-orang di desanya, Kofa. Namun, ternyata di balik keistimewaannya, ia terlahir tak sempurna dengan sebuah punuk di punggungnya.

Selama ini ia hanya menggenggam erat orang-orang yang sakit itu, sambil membacakan doa dalam hati. Tentu, bila akhirnya orang-orang itu sembuh, bukanlah karena dirnya, tapi karena Tuhan berbaik hati mengabulkan doanya. (hlm. 31)

Akibat pengelaman masa lalu yang memalukan, ia meninggalkan Kofa. Di perjalanan, Kitta Kafadaru kemudian bertemu dengan seorang lelaki tua yang selalu mengisahkan kisah-kisah ajaib padanya. Satu kisah tentang Matu Lesso, orang yang dapat memanggil hujan dengan menabur pasir di udara, kemudian seperti menginspirasi Kitta Kafadaru untuk menjadi manusia biasa, tanpa cahaya-cahaya di tangannya, dan juga punuk di punggungnya.

Beberapa kalimat favorit:
  1. “Tak ada masalah yang terlalu berat, atau yang terlalu ringan. Kalau terlalu berat, tentu kita takkan bisa menghadapinya, dan bila terlalu ringan, kita takut cenderung akan meremehkannya.” (hlm. 37)
  2. “Tentu saja semua orang punya beban hidup. Aku pun begitu. Tapi akhirnya aku bisa menyikapi semuanya. Engkau tahu, sebenarnya beban hidup akan membuat kita semakin tua.” (hlm. 39)
  3. Bukankah sangat sulit kalau terus tersenyum, kala kita benar-benar punya masalah? Bukankah senyum tersebut akan terasa palsu? (hlm. 22)

Diantara sekian banyak tokoh yang muncul dalam buku ini, favorit saya adalah Radius Mepe’. Lelaki yang merupakan warga baru di Kofa ini memang memiliki banyak koleksi buku, koran dan majalah. Jumlahnya hampir memenuhi satu rak besar. Ini jelas jauh lebih banyak dari buku-buku yang dimilikinya sekolahnya. Kitta Kafadaru sangat suka bila mendapat sesuatu yang baru dari buku. Dari sekian banyak buku yang dibacanya, beberapa mash diingatnya dengan jelas sampai hari ini.

Ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman hidup yang dijalani oleh seorang Kitta Kafadaru. Menjadi seseorang yang berguna tidak harus berwujud sempurna.

“Ini tanah leluhur kita, kita tak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku akan lebih memilih mati di sini, daripada harus meninggalkannya.” (hlm. 154)

Keterangan Buku:
Judul                : Miracle Journey
Penulis              : Yudhi Herwibowo
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Terbit               : 2012
Tebal                : 174 hlm.
ISBN               : 978-602-02-0379-9


http://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-miracle-journey/10151267461372693

Selasa, 05 Maret 2013

Miracle Journey, review Dion Yulianto di Blog Baca Biar Beken

seseorang dilahirkan ke dunia ini dengan sengenggam kebaikan dan setitik ketidakbaikan.” (hlm 116)

Kitta Kafadaru adalah sosok istimewa dari pelosok timur Indonesia yang terkenal dengan budaya sabananya. Kita mungkin lebih mengenal kawasan ini dengan Komodo-nya, tapi keajaiban cerita itu juga ada di sana. Setelah Mata Air Air Mata Kumari, Yudhi Herwibowo kembali mengangkat keajaiban kawasan Nusa Tenggara Timur lewat novel tipis namun sarat makna ini. Sebuah novel perjalanan yang di masa kini lebih dikenal dengan travelling atau backpacker, penulis mencoba mengingatkan pembaca akan romansa para pengelana dan petualangan yang sempat menjadi tren di zaman kuno. Kali ini, perjalanan itu juga dipenuhi dengan keajaiban selayaknya cerita-cerita di zaman kuno.

Alkisah, di desa terpencil bernama Kofa, hiduplah seorang pemuda bungkuk dengan keajaiban di tangannya. Ia bernama Kitta Kafadaru. Tangannya bisa mengeluarkan cahaya dan siapapun yang sakit dan disentuh dengan cahaya itu, maka akan sembuhlah ia. Sayangnya, keistimewaan ini malah membuat Kiffa merasa teralienasi dan kesepian. Walaupun semua orang di desa menhormatinya, ia merasa tidak bisa menyatu dengan mereka justru karena kelebihan yang ia miliki. Dengan tekad bulat, Kiffa pun melakukan perjalanan seorang diri, bertekad mencari jawab tentang keberadaannya di dunia ini.

Bakat menyembuhkan yang selama ini ia gunakan kemudian berusaha ia sembunyikan selama diperjalanan. Sekuat tenaga, Kitta berupaya menjadi orang normal yang tidak memiliki kekuatan ajaib pada tangannya. Perjumpaannya dengan seorang pria bijak tuabernam Ame Tua membuatnya mengambil kesimpulan untuk hanya menyembuhkan tiga orang saja selama perjalanan tersebut sebelum bakatnya hilang selamanya. Dan, begitulah, dalam perjalanannya menjelajahi satu pulau besar di NTT, ia bertemu dengan banyak orang, dan juga banyak keajaiban. Pertama, ia menyembuhkan seorang pengelana, lalu bocah berkulit merah, dan terakhir gadis bisu. Ketiganya sakit dan tersakiti, sekaligus menjadi korban dari syak prasangka lingkungan di sekitarnya.

Setelah ketiganya, Kitta memutuskan untuk menyudahi tugasnya dalam menyembuhkan orang. Sekuat tenaga ia berupaya mengingkari kelebihan dan bakatnya. Tapi, sebuah peristiwa memilukan di desa pinggir lautan berhasil menggugah jiwanya. Pada akhirnya, Kitta kembali pada takdirnya. Perjalanan jauh nan ajaib itu telah menyembuhkan luka sang penyembuh. Sungguh cerita yang indah sekaligus ajaib.

Membaca novel Miracle Journey, kita akan dibawa ke tempat yang begitu jarang disinggung atau dibayangkan dalam setting Indonesia awal abad ke 21, yakni Nusa Tenggara Timur. Dari kawasan padang stepa dan sabana nan kering, penulis berhasil menyulapnya menjadi pulau yang eksotis dan menakjubkan. Tidak ada lain yang bisa dilihat dari pulau kering itu kecuali sebuah kawasan yang penuh keajaiban, dengan orang-orang dan budayanya nan khas. Detail dan deskripsinya begitu vivid dan akurat, seolah-olah kita benar-benar menyertai perjalanan Kitta dalam menembus hutan dan padang sabana. Selain itu, ceritanya pun luar biasa. Sebuah perjalanan penuh keajaiban tentang memenuhi takdir dan menjalani kehidupan, itulah makna dari sebuah miracle journey.


http://www.goodreads.com/review/show/514231972?auto_login_attempted=true

Bedah Miracle Journey di Malam 3 Penjuru


acara perayaan buku buletin sastra pawon, akan memperbincangkan buku2
alpha centauri – lasinta ari nendra
sekejap – budiawan santoso
dan buku saya: miracle journey

untuk itu masing2 akan dipilih seorang pengulas maulana dan priyadi. untuk buku saya akan diulas oleh arry yulistiana. ia ini dulunya seorang novelis produktif, hanya setelah menjadi guru, ia tak lagi menulis karena kesibukannya. namun tentu saja kemampuan mengulas sebuah karya tak lagi diragukan… :)

jadi datang ya:
balai soedjatmoko, solo
sabtu, 16 maret 2013
pukul 19.00