Sabtu, 18 Mei 2013

Miracle Journey, review Annisa Anggiana di My Book Reviews Corner

Penerbit : Elex Media Komputindo
Tebal : 172 Halaman
Lalu apa yang bisa engkau ceritakan tentang jejak-jejak yang terlihat di jalan setapak, dan pelan-pelan hilang tersapu angin? Sebagai pengingat kita untuk tak lagi melihat ke belakang?
Saya pernah membuat review buku Perjalanan Menuju Cahaya dimana di dalam ceritanya terdapat legenda tentang Kitta Kadafaru dari desa Kofa. Desa Kofa yang indah dan memiliki empat mata air semenjak Kitta lahir. Kitta yang dapat menyembuhkan orang lain dengan cahaya yang ada di telapak tangannya.
Lalu suatu hari Kitta Kadafaru muda meninggalkan Kofa, dan mulai saat itu Kofa kembali menjadi desa yang gersang seperti desa-desa sekitarnya.
Kitta Kadafaru merasa perlu mencari jawaban tentang kegelisahan yang menggumpal di hatinya. Tentang beban yang ia rasakan karena fisiknya yang memiliki kekurangan, tentang hal2 yang bisa ia lakukan sehingga membuatnya dianggap sakti oleh penduduk desanya.
Kitta Kadafaru, pemuda dengan punuk di punggungnya. Kitta Kadafaru, pemuda dengan mimpi sederhana, menjadi normal seperti orang-orang lainnya.
Aku ingin menjadi burung-burung yang bisa terbang bebas menuju langit tak bertepi, dan bersembunyi di balik awan…
Di perjalanan Kitta bertemu dengan seorang bapak tua yang tertidur di bawah pohon rindang. Kitta dengan terpaksa membangunkan bapak tua itu karena perlu meminta air. Bekal air yang dibawa Kitta telah lama habis dan ia melihat bapak tua tersebut memiliki tabung bambu yang penuh air.
Dari perkenalan itu mereka memutuskan untuk berjalan bersama sampai arah mereka bersimpangan. Dalam perjalanan tersebut mereka banyak bertukar cerita. Tepatnya bapak tua tersebut banyak bercerita tentang legenda2 yang pernah ia temukan selama perjalanan.
Suatu ketika mereka bermalam di sebuah rumah kosong. Kitta melihat bahwa bapak tua tersebut kesulitan mencari posisi tidur dan tampak kesakitan. Empati membuat Kitta akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk bapak tua tersebut, ia mendekatkan tangannya ke arah kaki sang bapak tua. Dan cahaya pun muncul dari telapak tangan Kitta.
Pagi harinya bapak tua itu tekejut karena seluruh rasa sakit di tubuhnya menghilang sama sekali. Bapak tua tersebut juga sempat melihat cahaya yang keluar dari telapak tangan Kitta. Saat bapak tua itu menanyakan yang sebenarnya kepada Kitta, mengalirlah cerita muasal Kitta meninggalkan desa tercintanya Kofa.
Bapak tua tersebut kemudian menceritakan satu kisah lagi kepada Kitta sebelum mereka berpisah jalan. Kisah tentang Matu Lesso, seorang leleki yang dapat memanggil hujan.
Dikisahkan bahwa Matu Lesso dapat memanggil hujan dengan melemparkan pasir yang ada di tas selempangnya ke arah langit. Matu Lesso melakukan perjalanan panjang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk membantu memanggil hujan. Suatu hari Matu Lesso merasa lelah dengan kelebihan yang ia miliki. Matu Lesso hanya ingin hidup normal, menetap dan berkeluarga layaknya orang biasa.
Matu Lesso memutuskan untuk mengabulkan hanya tiga permintaan lagi. Setelah itu ia akan berhenti melakukan perjalanan. Ia akan menetap dan hidup normal.
Menurut sang bapak tua pada akhirnya Matu Lesso melaksanakan keinginannya. Ia hanya mengabulkan tiga permintaan dan setelah itu menetap, hidup layaknya orang biasa.
Melalui kisah itu sang bapak tua mencoba menyampaikan kepada Kitta bahwa ia memiliki pilihan yang sama. Jika Kitta betul2 mendambakan untuk hidup normal, cobalah untuk melakukan hal yang sama seperti yang Matu Lesso lakukan. Semua itu adalah hak Kitta untuk dilakukan, keputusannya sendiri untuk diambil.
Kitta pun memutuskan untuk menerima saran bapak tua. Merekapun berpisah jalan dan saling mendoakan. Dari titik itu Kitta bertekad untuk membantu tiga orang lagi, kemudian mencari tempat untuk menetap dan hidup normal.
Pertanyaannya, sanggupkah ia mengambil pilihan tersebut?
Pertanyaan yang menurut saya menjadi tema seluruh isi cerita bergenre Magic Realism ini. If you had the resources to help those in needs, would you? And if you decide not to, can you live with that decision?
That is a deep question and this book makes me question myself too.
Belakangan ini saya mengambil keputusan yang membuat saya keluar dari zona nyaman saya. Keputusan yang menempatkan diri saya sendiri dalam risiko. Saya mengambil keputusan itu karena pada akhirnya saya menolak memalingkan muka dari kesewenangan yang terang2an dipamerkan di lingkungan saya.
Pada akhirnya memang satu orang tidak akan bisa memberontak kepada satu sistem. It requires much more than that. Tapi tidak sedikitpun saya menyesali langkah yang sudah saya ambil. Jika semua dapat diulang saya pun tetap akan mengambil langkah yang sama. Karena hanya dengan itu saya dapat berdamai dengan diri saya, dengan nurani saya. I take all consequences with no regrets. In my case, that’s my answer for the question.
Nah jadi curcol kan.. Hehe.. Anyway, I love this story about Kitta Kadafaru’s journey. Genre Magical Realism masih jarang dijamah oleh para pengarang Indonesia and I highly encourage Yudhi Herwibowo to continue doing so. He’s doing a good job in this Genre!
4 dari 5 bintang dari saya untuk buku Miracle Journey ini.


http://annisaanggiana.wordpress.com/2013/05/17/miracle-journey-by-yudhi-herwibowo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar