Novel Miracle Journey ini
merupakan novel yang direkat dari 6 cerpen saya:
- Kofa
- Lelaki dengan Elang yang Melayang di Atas Kepalanya,
- Perempuan yang Bersenandung Aneh di Hutan Mati,
- Anak Iblis,
- Perempuan yang Merindu Air Bah, dan
- Sang Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan
Cerpen Kofa sudah dimuat dalam Buletin
Sastra Pawon, termuat juga dalam kumcer saya Mata Air Air Mata Kumari (BukuKatta), serta menjadi 1 bagian kisah di
novel saya Perjalanan Menuju Cahaya
(Sheilla). Cerpen Anak Iblis pernah dipublikasikan di Suara Merdeka. Cerpen Perempuan
yang Merindu Air Bah dimuat di Jurnal
Nasional dan Sang Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan dimuat di Koran Tempo. Cerpen Lelaki dengan Elang yang Melayang
di Atas Kepalanya merupakan revisi berulang-ulang dari cerpen Elang yang dulu pernah dimuat
di Majalah Hai, dan masuk dalam
kumcer pertama saya Lagu Senja (Balai Pustaka). Hanya satu cerpen, Perempuan
yang Bersenandung Aneh di Hutan Mati, yang sengaja saya simpan
dan tak saya kirim kemana-mana. Karena
ini merupakan cerpen paling kuat di antara semuanya!
Konsep buku ini sama persis seperti Perjalanan
Menuju Cahaya. Sebuah kisah yang dipenuhi bingkai-bingkai kisah lainnya. Tokoh
utama, melakukan perjalanan panjang dan mendapati kisah-kisah ajaib di setiap jeda
perjalanannya. Tentu ada hal yang melatari perjalanan itu. Satu hal yang
menjadi benang merah dari semua kisah.
Awalnya tentu saja saya tak membuat secara khusus cerpen-cerpen itu untuk
novel ini. Cerpen-cerpen itu saya buat seperti biasa. Namun saat mulai berpikir
membuat sebuah novel perjalanan, saya mulai memilih-milih cerpen-cerpen mana
yang sekiranya pantas masuk? Syarat cerpen itu tentu saja harus sesuai dengan
temanya: mengandung satu unsur keajaiban.
Maka terpilihlah 5 cerpen di
antaranya. Cerpen-cerpen ini saya ibaratkan bagai ranting-ranting kecil di antara
sebuah ranting besar. Setiap ranting kecil tak terikat dengan ranting kecil lainnya. Tapi tentu ranting besar itu mengikat semuanya. Di situlah sang tokoh utama melakukan perjalanan, untuk kemudian menyinggahi satu demi satu kisah. Ia bisa menempatkan diri hadir di tengah-tengah kisah, atau hadir setelah kisah.
Dalam proses pembuatannya, secara tak sengaja saya harus mengeksplorasi
satu tokoh yang muncul belakangan. Tanpa saya sadari saya membuat satu kisah Sang
Penabur Pasir, Sang Pemanggil Hujan. Saya pikir kisah itu dapat berdiri
sendiri. Maka saya kirimkan cerpen itu ke Tempo.
Seperti itulah... :)